Rss

Jumat, 13 Desember 2013

HP Lipat



Aku masih termangu duduk di atas sebuah kursi menanti pelanggan yang datang. Setelah menikah dan mempunyai seorang putra, aku belum juga mendapat pekerjaan yang mapan. Terpaksa aku membuka usaha ponsel kecil-kecilan di depan rumahku. Alhamdulillah, penghasilanku sekarang cukup untuk menghidupi kebutuhan rumah tangga, termasuk membiayai sekolah anakku yang kini di pondok pesantren.
Sudah dua tahun anakku menimba ilmu di sana. Aku berharap kelak dia menjadi anak yang saleh dan berbakti kepada orangtua. Tidak seperti aku dulu yang tak pernah serius mendalami ilmu agama ketika berada di pesantren.
“Mas, pulsa isi sepuluh ya…,” kata seorang pelanggan membuyarkan lamunanku.
“Oh iya Mbak, nomornya berapa?”
Pelanggan wanita itu mengeluarkan handphonenya dan menyebutkan nomornya satu-persatu. Kemudian kukirim pulsa sebesar sepuluh ribu ke nomornya tadi.
“Sudah masuk Mbak?”
“Sudah, ini uangnya Mas.”
“Iya, Eh…” Otakku refleks mengingat masa lalu ketika menyadari HP yang bertengger di tangan wanita itu, HP Lipat! Masa ketika dulu aku mondok di pesantren yang kini anakku juga mondok di sana.


***

Ketika gelap menyeruak dalam ketenangan, ribuan bintang berkelip membaur mesra di langit Pondok Pesantren AN NAJAH Banjarbaru. Jilatan angin malam menghambur memasuki celah asrama santri-santri yang terlelap di dalamnya, dalam kesunyian. Siraman rembulan juga tak pernah luntur menyinari kota santri saat itu.
Aku terbaring di atas kasur menanti alam mimpi memanggilku, tapi mata ini tak juga mampu ditidurkan. Belum mengantuk. Kusapu pandangan ke sekeliling ruangan, melacak sesuatu yang mungkin dapat menghiburku pada kepenatan di tengah malam ini.
Kulihat beberapa temanku masih asik ngobrol, entah apa yang mereka bicarakan. Sisanya barangkali sudah terlelap dalam dunia kasur yang meskipun tak begitu empuk, namun sangat membius.
Mataku berhenti menyisiri ruangan, dan tanganku merogoh sesuatu yang dapat dijadikan bahan otak-atik malam ini: sebuah HP lipat. Ya, barang terlarang yang berada di saku celanaku itu memang pilihan tepat guna mengisi kekosongan. Ah, tapi siapa yang bisa diajak berkirim SMS pada tengah malam seperti ini? Sangat membosankan!
Tidak ada pilihan lain, kecuali membuka aplikasi permainan yang tertanam di ponselku itu. Tapi, huh sial, ternyata kosong. Aku lupa telah menghapusnya kemarin lantaran memorinya tak cukup lagi. Apa aku harus mendownloadnya lagi? Ya, benar. Kucari permainan di sebuah situs yang menawarkan aplikasi gratis. Saking asiknya mencari, aku tak sadar suara obrolan teman-temanku sudah hilang, sepi. Hanya nyanyian dari kipas angin murahan yang kini mengisi telingaku. Kulihat jam dinding, sudah pukul 23.30, memang waktunya tidur. Aku pun kembali hanyut dengan HP lipat-ku.
Dari daftar permainan yang kubuka, DRAGON ISLAND CLASSIC III tampaknya paling menarik dan lantas kuklik “download”. Menunggu loading yang lumayan lama, kupejamkan mata sejenak.
Tiba-tiba, sebuah tangan seperti kilat melesat cepat menyambar HP di tanganku. Aku terperanjat. Astagfirullah, ternyata Ustadz!!! Rupanya tadi pintu asrama belum sempat dikunci.
Membawa handphone adalah pelanggaran kelas A, kelas tertinggi, setingkat dengan mencuri, berkelahi dan pacaran. Itu karena begitu “merusak”nya barang tersebut. Dengan benda kecil itu, santri dengan mudahnya bisa pacaran atau bahkan menonton video porno. Tapi sebenarnya bukan untuk itu aku membawanya, tujuanku tak lain yaitu agar mudah berhubungan dengan orangtuaku yang nun jauh di Samarinda sana, kota kelahiranku.
“HP siapa ini?” Ustadz bertanya begitu santainya, sementara aku merasa seperti mau disidang puluhan tahun, luar biasa gugup.
Dengan gemetar, kuberanikan menjawab, “Pu… punya saya, Ustadz…”
“Karena kamu ketahuan membawanya, mau tidak mau HP ini saya sita. Sebenarnya saya hanya ingin melihat-lihat kondisi asrama, eh tidak tahunya mendapati kamu dengan HP ini,” kata beliau dengan seulas senyum, senyum yang seperti tamparan keras di hatiku.
Ustadz Jamaluddin, demikian nama beliau. Beliau adalah ketua bagian keasramaan. Bukan tugas beliau padahal menyita barang-barang terlarang seperti ini, melainkan tugas bagian keamanan. Tapi apa boleh buat, karena semua ustadz memang berhak bahkan wajib menyita barang-barang terlarang yang dibawa santri, asalkan barang tersebut kemudian diserahkan pada bagian keamanan beserta data pemiliknya.
“Ustadz, apa saya boleh mengambil kartunya? Kartu itu sangat penting.”
“Tidak bisa,” kalimat beliau yang terdengar sinis itu sudah tak bisa ditawar lagi.
“Boleh ya Ustadz…” pintaku lagi dengan penuh pengharapan.
“Tidak bisa!!! Sekarang cepat ambil kertas dan pulpen!” suara beliau kini mengencang.
Tidak salah lagi kalau Ustadz memintaku seperti itu, pasti beliau akan mencatat biodataku untuk diserahkan pada pihak keamanan. Lebih parah lagi kalau bagian keamanan kemudian memanggil orangtuaku ke kantor guna mempertanggungjawabkan kesalahanku. Aku harus bagaimana? Ya Allah, bantulah aku! Semoga masalah ini tak akan menjadi masalah besar.
“Tulis nama dan kelasmu di sana!” pinta beliau sebelum kertas dan pulpen itu kuserahkan.
Tanpa pikir panjang, kutulis namaku seadanya: Rizaldy A, kemudian kertas itu kuserahkan. Itu bukan nama lengkapku, sebenarnya nama lengkapku Muhammad Rizaldy Arifin.
“A ini apa? Alien?!”
“Bu… bukan Ustadz, itu singkatan dari Arifin.”
Ustadz Jamal memang kadang suka bercanda, namun di balik canda beliau itu, ada keseriusan yang dalam. Setelah lama menatap kertas itu, beliau kemudian mengajukan pertanyaan lagi.
“Kamu kelas berapa?”
“Satu aliyah A, Ustadz.”
“Kamu tinggal di mana?”
“Samarinda.”
“Cukup jauh. Orangtuamu tahu kalau kamu membawa HP ke sini?”
“Mungkin, soalnya HP ini saya ambil dari kakak saya yang tinggal di Banjarmasin.”
“Banjarmasin? Ia kerja apa?”
“Guru SMP.”
“Siapa namanya?”
Aduh, banyak sekali pertanyaannya, seperti sidang korupsi uang negara saja. Tapi apa boleh buat, aku harus memjawab semua pertanyaan dari seorang Ustadz.
“Ridwan.”
Huh, memangnya penting menanyakan sampai sejauh itu?
Ustadz Jamal terdiam sesaat, seperti sedang memikirkan sesuatu.
“Hm, apa dia seorang guru tilawah?”
Apa?! Kok bisa tahu? Apa beliau kenal dengan Kak Ridwan? Jika dipikir-pikir, sepertinya memang iya, karena Ustadz jamal juga guru tilawah di sini. Aku mengangguk.
“Sudah lama kamu membawa HP ini?” tanya beliau lagi.
“Sudah dua bulan, Ustadz…”
Ingin kukatakan bahwa baru satu minggu aku membawanya, supaya kedengarannya tidak terlalu buruk, tapi aku tak berani berbohong, apalagi pada seorang Ustadz. Benar-benar tak berani. Lagipula, berapa lama pun aku membawa HP lipat itu tetap tak ada gunanya, nasibnya tetap sama.
Sebenarnya yang kupikirkan bukan soal HP-nya, tapi bagaimana nanti malunya bila orangtuaku dipanggil ke kantor. Selain itu, kartu SIM yang telah berisi beberapa nomor penting juga tak dapat kuambil lagi.
“Ustadz, kartunya bagaimana? Di sana banyak nomor penting…”
Ustadz Jamal hanya menggeleng pelan, cukup sebagai jawaban terakhir. “Kartu ini akan saya jadikan bukti di hadapan pihak keamanan nantinya. Siapa tahu ada SMS dari gadis kamu atau…”
“Saya tidak pacaran, Ustadz,” potongku segera.
“Kan siapa tahu? Ya sudah, saya mau ke asrama lain lagi. Besok kamu ke kantor menghadap bagian keamanan,” ucap beliau sambil berlalu meninggalkan asrama. “Assalamu’alaikum,” ucap beliau ketika sudah berada di pintu asrama.
“Wa’alaikumussalam…,” serentak teman-temanku yang rupanya terbangun dan menyaksikan tragedi penyitaan itu menjawab salam dari Ustadz Jamal.
Setelah sosok Ustadz Jamal hilang dari pintu, kulihat senyuman agak menghina di mulut kawan-kawanku dan lantas berubah menjadi cekikikan.
“Hahaha…,” gelak tawa bergemuruh dalam asrama.
“Rasakan! Kamu nggak bakalan bisa tidur malam ini, sama sepertiku waktu pertama ketahuan melanggar qanun,” sembur Rahman, teman di samping ranjangku.
“Ah, sudahlah. Jangan dibahas lagi! Ayo tidur!”
Aku kemudian menarik selimut dan mengurung tubuhku di dalamnya. Pikiranku tak karuan. Malam seperti ikut menertawakanku. Huh, sialan.
Mataku benar-benar tak dapat dipejamkan. Malam yang sungguh panjang. Masalah ini terus-menerus memenuhi benakku. Besok aku harus ke kantor, tak dapat kubayangkan bagaimana tegangnya besok nanti. Kemana menyimpan wajah malu ini di tengah sorotan para Ustadz? Sama saja dengan menari telanjang di hadapan ribuan orang!
Pandanganku semakin merantau jauh, melintasi dimensi ketegangan malam yang larut hingga dibuai ketenangan. Ya Allah, bawalah aku ke dalam mimpi indah walau untuk sejenak.
Getaran hangat menyelinap ke dalam lubang telinga. Setetes embun perlahan mengintip malu bola mataku. Aku seperti mendengar seruan Ilahi dalam pembatas mimpi. Alunan lembut yang memaksaku membuka perlahan helai demi helai bulu mata. Subuh telah menjemputku.
Setelah menunaikan tidur malam yang sangat singkat, aku beranjak mengerjakan shalat subuh. Di setiap gerak sujudku, kusisipkan segumpal doa yang mendalam agar masalahku tak akan menjadi masalah besar. Terang saja, ini baru pertama kalinya aku disuruh ke kantor karena suatu pelanggaran, sehingga bayangan sidang di kantor nanti terus menghantui dan selalu terlintas di otakku. Aku sungguh tak bisa tenang saat ini.
Saat jam telah menunjukkan pukul 8.30, aku sudah berada tepat di hadapan seluruh bagian keamanan, termasuk ketua bagian keamanan, Ustadz Umar. Sejak memasuki kantor, tak pernah sama sekali kuangkat wajahku yang terus-menerus menunduk. Aku benar-benar tegang berada di sini.
“Rizaldy, kamukah yang melanggar qanun dengan membawa HP ini?” tanya Ustadz Umar langsung sambil memperlihatkan HP lipat itu.
Kujawab dengan anggukan. Aku belum berani mengeluarkan sepatah kata pun.
“Kalau begitu, apakah kamu ingin HP-mu ini dikembalikan?” tanya beliau lagi dengan tegas.
“Tentu Ustadz,” kuberanikan menjawab walau pelan.
“Tapi dengan satu syarat, orangtuamu harus hadir ke sini untuk mengambilnya dan harus melakukan perjanjian dengan pihak pondok, bahwa kamu tidak akan melanggar qanun lagi, dan bila ternyata kamu ketahuan melanggar qanun lagi maka kamu akan diberhentikan dari AN NAJAH. Sepakat?”
Ancaman itu sungguh mengerikan: bila melanggar qanun lagi akan diberhentikan! Namun aku benar-benar tak tahu lagi harus berbuat apa kecuali menjawab “Iya”. Yang terpikir olehku hanyalah bagaimana caranya agar masalah ini cepat berakhir.
Dari luar jendela, angin bertiup pelan ke arahku, seperti kasihan padaku. Demikian pula dengan dedaunan akasia di luar jendela sana yang bergoyang-goyang. Aku dapat merasakan semuanya.
“Mas, Mas, uang kembaliannya?” Sebuah suara mengagetkanku.
“Oh, iya Mbak, maaf…,” sahutku gelagapan.
Lamunan masa laluku buyar. Aku hanya tersenyum kecil. Kuserahkan uang kembaliannya sebesar empat ribu rupiah.
“Terimakasih, dijual…,” ucapku dengan seulas senyum.
Wanita itu kemudian berlalu meninggalkan kios ponselku. Aku kembali tersenyum mengingat masa laluku.
Ah, di mana ya HP lipat itu? Seingatku HP itu masih kusimpan di sini. Walau tidak terpakai lagi, tapi benda itu menyimpan banyak kenangan, kenangan kelam. Segera kucari HP itu.
 
Bipp… Bipp… Bipp…

Handphone di saku celanaku berbunyi, padahal HP lipat itu belum juga kutemukan. Aku benar-benar sudah lupa menaruhnya di mana. Segera kurogoh kantung celanaku.
“Halo?” kubuka percakapan.
“Assalamu’alaikum,” sahut seseorang di seberang sana.
“Iya, wa’alaikumussalam. Ini siapa?”
“Saya Ustadz Zulkifli dari Pondok Pesantren An Najah. Ini benar orangtuanya Naufal Arifin?”
“Benar, ada apa ya Ustadz?”
“Begini, kami meminta Anda datang ke pondok karena anak Anda telah ketahuan melanggar peraturan.”
Aku terdiam sejenak. Setahuku anakku Naufal tak mungkin berani melanggar peraturan.
“Oh maaf, peraturan apa ya Ustadz?”
“Anak Anda kami dapati telah berani membawa HP ke pondok. Jadi kami meminta Anda datang ke sini untuk menandatangani perjanjian…”
Apa? Membawa HP? Jangan-jangan, HP itu, ya, HP lipat itu… Ah, Naufal, kenapa kau mengulang kisah kelamku?[ ]

24-02-2011
____________________________________________________



 


Cinta Luna Aprilia (bag.2-habis)


Orang-orang ramai berdatangan. Terutama mobil patroli yang bertugas di jalan itu. Juga tak ketinggalan mobil ambulans yang ditelpon seseorang di tempat itu.

Jalan semakin ramai di depan hotel. Kulihat mobil David terdorong sejauh lima meter akibat tabrakan truk tadi. Bagian depan mobilnya hancur, begitu juga bagian sampingnya.

Malam menjadi gaduh. Bulan sabit telah hilang di balik awan hitam seakan enggan melihat kejadian semuanya.

Pikiranku menjadi kacau, sedih, duka, hampa, sangat menderita.

Aku pusing dan kehabisan kata-kata sampai kekuatanku menenggelamkanku dalam kesadaran. Gelap, hampa dan tak kurasakan lagi apa-apa.

*****

Orang-orang ramai berdatangan. Terutama mobil patroli yang bertugas di jalan itu. Juga tak ketinggalan mobil ambulans yang ditelpon seseorang di tempat itu.

Jalan semakin ramai di depan hotel. Kulihat mobil David terdorong sejauh lima meter akibat tabrakan truk tadi. Bagian depan mobilnya hancur, begitu juga bagian sampingnya.

Malam menjadi gaduh. Bulan sabit telah hilang di balik awan hitam seakan enggan melihat kejadian semuanya.

Pikiranku menjadi kacau, sedih, duka, hampa, sangat menderita.

Aku pusing dan kehabisan kata-kata sampai kekuatanku menenggelamkanku dalam kesadaran. Gelap, hampa dan tak kurasakan lagi apa-apa.

*****

Aku mulai sadarkan diri. Mulai ada cahaya yang masuk dalam pikiranku. Yang perlahan mengangkat kembali ingatanku.

"Dimana aku?" tanyaku heran melihat seisi ruangan yang asing dalam pandanganku.

"Lun, ini mama. Kamu lagi di rumah sakit. Kamu tadi pingsan di tempat tabrakan depan hotel Liberty. Tadi mama juga ditelpon polisi untuk menjemput kamu," sahut mama yang dari tadi menemaniku.

"Hah? Tabrakan? David bagaimana?! Mama, bagaimana keadaan teman Luna? Apa dia baik-baik saja dan dimana dias ekarang? Dimana David? Dimana dia?" Kataku panik.

"Lun, tenang Lun. Korban tabrakan di TKP yang bernama David itu sudah meninggal tiga puluh menit lalu. Karena pendarahan di kepalanya terlalu banyak. Mungkin karena pecahan kaca mobil yang menancap di kepalanya," sahut Mama meyakinkan.

"Apa!!! Nggak mungkin!!!" ucapku dengan nada bergelombang menahan isakan tangis.

Perasaanku hancur berkeping-keping. Aku telah merasakan sakitnya kehilangan. Di setiap mata batinku melihat sosok seorang David yang tadi bersamaku, aku jadi berpikir kenapa aku tidak mati saja bersamanya. Kenapa juga aku pulang malam dari hotel tidak pagi saja? Aku terus menyesal di setiapdetik-detik waktu.

*****

Pagi berduka. Aku menziarahi mekam David di pemakaman keluarga Madwinata. Kupandangi batu nisan putih yang bertulisan

David Fauzi Madwinata

Lahir:11-01 – 1984

Wafat: 14 – 02 – 2008

 Di setiap memandangi tanggal kematiannya, aku selalu merasa sesak teringat tragedi yang kami lakukan berdua di malam itu. Kutaburi bunga-bunga di atas tanah coklat yang menyelimuti jasadnya yang sangat kucintai. Kupeluk nisannya dengan erat sambil mengisakkan tangis. Hingga aku pergi meninggalkan pemakaman keluarga Madwinata. *****

Telah kutahan sekian lama. Tak terasa sudah sebulan kematian David berlalu. Tapi, rasa duka masih tersimpan erat di hatiku. Sedikit demi sedikit kulupakan aura wajah David, semakin terus terbayang wajahnya menghantui. Tapi aku terus tetap berusaha hingga wajahnya benar-benar sirna dari ingatan.

"Ma, aku pergi…"

"Nggak sarapan dulu? Nanti kelaparan di kampus," sahut mama.

"Nngak kok, nanti Luna bisa makan di kantin kampus.”

Brumm…

Honda Jazz merah yang selalu menemaniku melaju menuju kampus. Semua pernak-pernik yang berhubungan dengan David di dalamnya sudah kulepas agar aku melupakannya. Desiran kendaraan roda dua dan roda empat di jalanan tetap ramai. Cuaca langit berkabut hitam, seperti mau turun hujan. Orang-orang terlihat asyik nongkrong di warteg-warteg samping jalan, menerka-nerka selebat apa hujan akan turun.

Aku sudah sampai di kampus. Mobilku telah memasuki gerbang dan menuju parkiran. Belum keluar dari dalam mobil, kepalaku jadi sangat pusing dan perut jadi mual–mual. Kuacak-acak boks mobil mencari barang yang bisa menampung muntah. “Houuueek…houueek..”

Muntah langsung kutumpahkan ke kantung hitam yang kutemukan di boks.

Perasaanku menjadi tidak enak. Kukabari Maya, Teman seruanganku di kampus untuk memintakan izin. Aku tidak jadi turun dari mobil. Kupalingkan kembali mobilku dari parkiran dan berpikir pulang saja. Tapi, sebalum itu aku mampir ke rumah sakit untuk periksa.

Cuaca menjadi cerah. Mendung seolah bersembunyi di balik matahari. Bunga-bunga di pinggiran jalan masih terlihat segar diselimuti embun yang belum kering.

Rumah Sakit Umum Palang Merah. Terpampang besar tulisannya di hadapanku. Aku masuk untuk periksa. Sampai lima belas menit menghabiskan waktuku. Dokter kembali tanpa membawa resep seperti biasanya aku berobat.

“Dok, aku kenapa? Apa ini penyakit serius?”

“Tidak, kamu tidak apa-apa. Tapi…” Dokter itu terdiam sesaat, lalu kembali meneruskan kata-katanya. “Selamat, Anda akan menjadi seorang ibu, maksud saya Anda hamil.” Sambung dokter yang kira-kira masih berumur tiga puluhan itu sambil menjabat tanganku.

Aku terdiam dengan tampang kaget dan mata berkaca-kaca. Tak dapat lagi kuucapkan kata-kata selain terima kasih dan langsung pergi meninggalkan ruangan dokter. Tangisku meledak di luar ruangan. Kupercepat langkahku untuk cepat keluar dari rumah sakit dan langsung pulang.

Perasaanku kembali sesak dan sakit. Di sepanjang jalan tidak henti-hentinya air mataku mengalir meski telah kutahan. Bayangan seorang David kembali muncul dalam pikiranku. Kajadian pada malam itu kembali menghantui. Malam yang sangat kusesali. Malam yang tak ingin kutemui lagi. Pikiranku menjadi kacau dan kembali mual-mual. Menyetir mobil pun tidak serius. Mobil kujalankan dengan pelan agar tidak terjadi apa-apa sampai ke depan rumah.

“Ih non, non kenapa? Apa non sakit?” Tanya Mbok Sarah yang tiba-tiba melihatku keluar dari mobil ketika menyiram tanaman.

“Iya Mbok, tolong anterin aku ke kamar!” jawabku pada Mbok Sarah yang langsung mendatangiku.

Jam menunjukkan pukul 09.20 pagi. Mbok Sarah membantuku ke kamar. Aku langsung berbaring saja. Kupandangi seisi ruangan kamar, bayang-bayang David hadir di dalamnya merasuk pikiranku. Seakan-akan menanyakan sebuah pertanyaan,kapan bayi kita lahir? Pertanyaan yang seolah ingin membunuhku. Sebab jika bayi di dalam kandunganku lahir, hancurlah semuanya. Keluarga, teman,kuliah, kampus dan lain-lain. Karena jasad David belum menjadi suami sahku.

“Meowww.”

“Russy…, ayo naik.” Pintaku pada Russy yang tiba-tiba berada di samping kasurku. Russy langsung meloncat ke atas perutku. Lalu mengambil posisi yang pas untuk tidur.

“Kamu ingin tidur denganku?”

Russy tak menjawab lagi dengan kata-kata meow. Matanya sudah terpejam dengan dengkuran khas kucing. Memang, kucing jenis persia ini memang suka tidur dibanding bermain. Kupandangi mukanya yang imut dan lucu seraya berpikir, kalau aku menjadi seekor kucing, pasti tidak akan pernah mempunyai masalah sedikit pun. Terutama masalahku sekarang yang membebaniku. Kutarik selimut yang berada di ujung kakiku untuk menutupi badanku. Kuelus-elus bulu Russy yang lembut dan halus sampai kelembutannya membawaku kedalam tenangnya tidur.

“Lun, aku datang. Aku ingin membawa bayi kita.”

“Ka, kamu masih…”

“Ya, aku masih ada. Aku ingin membawa bayi kita. Anak kita.”

“Nggak, nggak, kamu bukan David. Kamu sudah…”

“Nggak Lun, aku masih di sini menanti kelahiran bayiku. Bayi kita!”

Kenapa David di sini? Kenapa ia masih hidup? Benarkah ia belum mati? David mendekatiku dengan wajah yang pucat. Aku sangat ketakutan. Ia tetap mendekat dan menangkap tanganku.

“Jangan ke sini, pergi!!!” Keheningan pecah. Aku menjerit sekeras-kerasnya tanpa menyadari semuanya.

“Non, non Luna kenapa? Non Luna tidak apa-apa kan?”

“Mbok, dia, dia datang lagi. Dia ingin…”

“Dia siapa? Non tadi cuma mimpi. Mungkin non Luna mimpi buruk.” yakin Mbok Sarah.

Apa semua tadi nyata atau mimpi? Aku melihatnya begitu nyata. Air mataku menetes. Aku begitu sedih tentang semuanya. Mbok Sarah menenangkan di sampingku. Russy sudah keluar kamar, mungkin karena mendengarku berteriak. Jam 12.45, itulah yang terlihat di jam dindingku.

Matahari siang begitu panas menjilat desiran debu di jalanan. Aku beranjak bangkit dari kasur untuk pergi ke meja makan. Mbok Sarah sudah menyiapkan makan siang setelah memberi sereal kucing pada si mungil Russy. Semua rahasia masih belum terbongkar . Aku tidak ingin menceritakan semuanya dengan buru-buru. Sekalipun pada mama dan papa.

*****

“Lun, kamu sampai kapan ngurung diri di kamar?” ucap mama sedari menyadarkan ingatanku.

Aku sungguh tak tahan mengingat semuanya. Kejadian yang menimpaku bulan lalu. Kisah cinta yang mengukir penderitaan. Yang menyisakan sebuah amanah titipan Tuhan. Seorang bayi yang bukan anak suamiku. Melainkan anak kekasih setiaku yang telah meninggalkan dunia. Yang meniduriku tanpa ikatan pernikahan. Sekarang, mama dan papa sudah mengetahui semuanya. Mulanya mereka marah, namun akhirnya dapat mengerti semua masalahku.

Malam telah menunjukkan pukul 11.20 malam. Aku tak ingin mengingat lagi apa yang sudah lewat. Bayi yang terkandung di dalam perutku akan kurawat sampai besar. Itulah yang diinginkan Mama asal tidak mengambil jalan aborsi. Aku sekarang hanya memikirkan masa depan dan tak ingin memulai kisah seperti dahulu. Kisah cinta yang berakhir penderitaan. Inilah yang kutakutkan saat dulu. Bisa terjadi apa yang tak pernah mugkin bagiku terjadi ketika berpacaran . Mungkin sudah takdir terlanjur padaku. Aku akan memulai hidup baru dengan pandangan tetap ke depan tanpa memikirkan pacaran karena pacaran tidak selamanya berujung kebahagiaan. Bagiku pendapat yang dulunya tak pernah kumengerti, sekarang telah kumengerti bahwa kepuasan berpacaran adalah sesudah pernikahan. Dan tentang jodoh kuserahkan kepada Tuhan.

Malam berangsur-angsur hilang ditelan pagi. Kicauan burung sudah mulai muncul bersahutan. Udara sejuk di pagi hari begitu nyaman untuk menarik nafas dalam-dalam di bawah dedaunan segar.

Tirai jendela kubuka. Sembari tersenyum melihat semuanya kutapaki hidup baru hari ini. Walau dengan kebiasaan yang berbeda. Sebab, sekarang aku mengandung seorang bayi berumur satu setengah bulan di perutku. Begitu juga David, ia tetap masih ada di dalam hatiku. Aku sudah tenang dengan semuanya. Tentangnya, masih kusimpan di dalam memori berpacaran yang terakhir untukku. Karena dia, aku sudah tak ingin lagi berpacaran. Biar jodoh yang mencariku dan juga dapat menerimaku apa adanya. Yang langsung membawaku ke jenjang pernikahan tanpa harus bertele-tele dengan ketidak seriusan cinta. Kalau saja David belum meninggal, pasti dia sudah mengikatku dengan tali pernikahan yang sah. Tapi sudahlah, mungkin itulah jalan terbaik untuknya.

Jam sudah menunjukkan pukul delapan tepat. Kubuka buku diary pemberian David dahulu ketika pertama kali ia menembak hatiku dengan kata-kata manisnya.

“Lun, kamu mau kan jadi pacar aku? Kalau kamu mau kamu boleh ambil diary ini. Kalau nggak, kamu apakan terserah atau kamu buang aja. Ini nantinya kalau kamu jadi pacar aku, ia akan jadi saksi cinta kita. Tulis saja pahit manis kisah cinta kita sampai kita menikah nanti. Kalau kamu mau jadi istri aku,” katanya dengan sedikit bercanda waktu di kampus dulu. Dengan nada-nada gombalnya yang meyakinkan hingga aku dapat tertarik dengannya.

Diary berwarna merah keemasan yang masih baru dan terbungkus plastik. Diary yang masih utuh dengan kertas-kertas kosongnya. Awalnya, aku bingung untuk menulis apa tentang David yang telah tiada. Tapi sekarang, diary itu telah kuisi dengan puisi yang mencakup kisah semuanya. Tentang aku dan dia.

 

 Itulah saat terindah dalam hidupku

Saat kita di bawah rembulan

Saat kita berdua

Saat kita bersama…

 

 Tak percaya dengan apa yang kulihat

Tapi, Tuhan berkehendak lain

Itu mungkin pilihan-Nya…

Itu yang terbaik untuk menjaganya…

 

Dalam hatiku ada rasa tenang

Sebuah rasa yang telah menenangkan hatiku

Dari kalimat penderitaan…

Yang menutup mimpi dengan kenyataan

 

Juga membawa diriku sekarang

Membuka lembar kebahagiaan …

Yang jalani hidup baru

Tanpa harus bersamanya…

 Itulah yang kutulis satu-satunya di dalam diary pemberian David yang kubungkus dengan rapi dengan kertas kado warna putih bercampur kemerahmudaan. Kutulis namaku di atas sampulnya. Luna Madwinata, itulah yang kutulis agar diary itu tetap menjadi milikku dan milik David. Kupakai kata Madwinata karena aura David harus selalu mendampingiku di dalamnya.

*****

Hari berganti hari. Roda waktu selalu berputar sesuai porosnya. Waktu aktifku sudah berjalan normal seperti biasanya. Hanya saja duniaku sedikit berbeda karena perutku semakin membesar. Terpaksa kutahan kuliahku satu tahun agar dapat konsisten terhadap bayi di dalam kandunganku ini.

Inilah kisahku, kisah seorang perempuan yang memperjuangkan cintanya dengan seorang pria yang sudah tiada di dunia ini. Pria yang telah merenggut hatiku, menampar jiwaku, dan mengambil cintaku. Cinta Luna Aprilia….[]


Minggu, 08 Desember 2013

Cinta Luna Aprilia

Rembulan sirna ditelan guyuran hujan deras di malam buta. Bintang juga tak tampak seolah enggan keluar malam itu bersama suara jangkrik yang hilang ditelan bisingnya genteng diterpa butiran air. Sementara di bawah genteng itu, Luna rebahan memeluk guling. "Lun, cepat keluar. Tidak baik mengurung diri terlalu lama di kamar."

"Mama tolong jangan ganggu aku dulu. Aku lagi nggak pengen keluar kamar!!"

Hujan telah reda, tapi mataku belum berhenti mengisakkan tangis. Aku sangat tak tahan mengingat kejadian bulan lalu. Apalagi kehadiran anaknya sekarang yang selalu mengingatkannya.

 *****

"David, besok kan hari valentine. Kamu mau nggak ngajak aku ke tempat istimewa biar kita bisa ngerasain pacaran di hari kasih sayang?"

"Kalo kamu mau, aku mau ajak kamu ke tempat paling spesial. Tapi nanti kamu tutup mata biar lebih romantis. Kamu mau kan?"

"Oke deh, kamu memang cowokku yang paling baik," ucapku dengan nada senang.

"Jam tujuh ya! Kutunggu di tempat biasa," balasnya lagi.

Aku hanya mengangguk dan setelah itu aku langsung diantarnya pulang dari kafe tempat kami minum.

 *****

Malam telah berlalu dan pagi menyambut bangun tidurku. Kubuka tirai jendela kamar yang terpasang di samping kiri lemari. Russy, kucingku pun sudah bermain-main di halaman rumah dengan bola mainan kecil yang kubelikan kemarin.

"Trings….trings…trings…" HP-ku berbunyi. Kubuka sms yang baru masuk.

 LuN4 Cynk, dah bngun pa blum? Q kngen Nch!! Ntar mlm kta jd prgi kn? Bye maniz q. 1 luv u.:)

 Dari David, benakku. Kata-kata yang gombal. Sms ini sudah sering ia kirim padaku. Tapi aku sangat senang kalau selalu dapat sms darinya. Kubalas smsnya dengan sesingkat-singkatnya karena aku baru bangun tidur dan malas ngetik sms.

 Yups, Q jg cyank qmu, I luv u too.(-_~)*

 Jam sudah menunjukkan pukul sembilan tepat. Mama dan papa sudah pergi ke kantor. Aku tetap di rumah karena bosan banget ke kampus. Nanti malam juga harus pergi sama David, jadi harus istirahat biar nggak kecapekan.

Aku baru saja selesai makan siang yang telah dihidangkan Mbok Sarah di meja. Hanya Mbok Sarah yang menemani makan siangku tiap waktu. Karena mama dan papa selalu pulang malam.

"Mbok, habis ini anterin obat aku ke kamar ya," pintaku pada Mbok Sarah. Karena biasanya kalau aku nggak minum obat, aku suka pusing.

"Iya non, nanti saya anterin. Tapi saya mau antar ini ke dapur dulu," jawabnya sambil mengangkat piring kotor ke dapur.

Aku beranjak pergi dari meja makan menuju ke kamar. Kasur dan meja belajarku masih tersusun rapi sejak Mbok Sarah bersihkan tadi pagi. Foto David pun masih tersusun rapi menghiasi atas bupet kecilku dengan gambar-gambar yang berbeda.

"Ini non obatnya. Mbok taruh di atas bupet," kata Mbok Sarah yang tiba-tiba datang.

"Oh iya Mbok, taruh di situ saja."

Mbok Sarah pergi setelah mengantar obatku. Pintu kamar kututup dengan rapat setelah meneguk obat yang diantarkan Mbok Sarah. Mataku akhirnya mengantuk dan siap untuk tidur. Kunaikkan suhu AC beberapa derajat karena udara sangat gerah, hingga kesejukannya mengantarkanku dalam tidur.

 *****

"Ih, Non rapi banget. Non Luna mau pergi ya?"

"Eh, entar kalau mama papa sudah pulang, bilangin kalau aku jalan ke rumah temen," bilangku pada Mbok Sarah setelah ia kagum mamandangiku.

"Tapi Non perginya jangan lama-lama ya, nanti saya yang dimarahi nyonya."

"Iya," jawabku singkat.

Kupandangi diriku di cermin. Kudapati wanita memakai gaun merah setangah lutut dengan motif tanpa bahu dan lengan, dipadu aksesoris dan pernak pernik putih mengkilap. Juga tak ketinggalan sepatu hak tingi berwarna silver mengkilap yang dibelikan papa di Singapura. Wow seksi, ternyata aku cantik juga. Kalau dilihat sekilas mirip artis Zaskia Sungkar.

Jam telah menunjukkan jam 06.45. Aku sudah siap untuk pergi ke kafe tempat aku dengan David biasa berduaan.

Malam begitu ramai di jalanan. Orang-orang berpasang-pasangan sedang asik berduaan menghabiskan malam valentine mereka. Toko-toko pun terlihat anggun dengan tatanan amor-amor pink yang menghiasi wajah-wajah toko. Terlebih lagi toko-toko cokelat dan kue. Aku telah sampai di depan Flower Garden Cafe yang sering disebut orang kafe Efge dengan menggunakan taksi sekitar sepuluh menit dari rumahku. Mataku berusaha menangkap meja-meja yang penuh dengan orang-orang. Tapi tak kudapati David di dalam.

"Hey."

"Hah!! Ih, ternyata kamu. Aku tadi cari kamu di dalam. Kok di luar sih?" Ucapku dengan nada kaget karena David tadi mengejutkanku dari belakang.

"Udah, di dalam penuh. Yuk, sekarang ke mobil aku," sahut David sambil menarik tanganku menuju mobilnya yang berada di parkiran.

Malam masih ramai dengan pemuda pemudi yang berkeliaran bebas. Dan begitu indah dengan lampu-lampu warna–warni berkelap-kelip memesona. Juga di sudut-sudut tempat tidak kalah heboh dengan kicauan para geng-geng bermotor yang sedang nongkrong.

"Vid, sebenarnya kita mau kemana sih?" tanyaku heran.

"Ya udah, kita stop sebentar di sini," sahut David sambil ngerem mobilnya, lalu mengambil sapu tangan hitam besar dari boks kecil di mobilnya.

"Kamu mau tutup mata aku ya?"

"Iya, kamukan udah janji semalam."

David melanjutkan perjalanan setelah memasangkan penutup mata di wajahku. Dengan mata tertutup aku hanya bisa merasakan dan mendengar suara ocehan David di mobil. Hingga mobilnya berhenti di suatu tempat. Tempat yang tidak terlalu ramai. Apakah ini kafe atau restoran atau sebuah tempat yang sengaja disiapkan untukku?

Dengan mata tertutup, dituntunnya tanganku agar aku tidak menabrak sesuatu. Dan akhirnya berhanti sesaat.

"Mbak, pesanan semalam untuk berdua," kata David yang hanya bisa kudengar. Aku masih penasaran dengan siapa ia bicara. Tapi sepertinya Mbak itu menyerahkan sesuatu kepada David.

"Eh yuk, jangan bengong aja," katanya lagi.

Tanganku kembali ditariknya. Langkah demi langkah kujalani, akhirnya ia bilang sudah sampai. Aku pun sudah tidak sabar ingin membuka mata.

"Sabar ya, aku hitung mundur. Tiga, dua, satu!!!"

Perasaanku berde-bar-debar. Ikatan penutup mata dibuka David pelan-pelan.

"Surprise….." Kata David lantang.

"Wow, ini sungguh sebuah kejutan. Thanks you Vid, I love you," ucapku dengan perasaan sangat terharu. Kuberikan ciuman padanya di pipi kanannya sebagai tanda terima kasih.

Aku terdiam sejenak. Dan timbul pertanyaan dalam benakku, kenapa ia mengadakan acara di tempat ini? Dan aku baru menyadari tempat ini.

"Kenapa?" Tanya David yang tiba-tiba menyadarkan lamunanku.

Aku tetap diam sambil memandangi wajah David. Dan akhirnya kuberanikan untuk bertanya.

"Vid, kenapa kamu buat acara kita di tempat ini? Apa tidak terlalu berlebihan? Ini kan….."

"Ya, aku tahu. Ini hotel. Hotel supermewah bintang lima. Apa salah aku menyediakan semua ini untuk hari valentine kita berdua?" Kata David langsung memutus pembicaraanku tadi.

"Maksud kamu?" Tanyaku penasaran.

"Luna sayang, aku ingin menghabiskan malam spesial ini cuma berduaan dengan kamu. Hanya kita berdua, tanpa diganggu oleh siapapun. Aku sungguh mencintaimu Luna. Kamu mengerti kan? Mungkin aku berharap kaulah yang menjadi pendamping hidupku kelak," sahutnya dengan sedikit berbisik.

Kata-katanya, kenapa kata-katanya begitu membuatku terharu? Sangat terharu. Sungguh perasaanku begitu grogi dan begitu lunak di hadapannya. Juga menjadi pasrah tunduk dalam rayunya.

"Lun, aku mencintaimu," kata David berulang-ulang sambil memegangi tanganku.

Kupandangi wajahnya. Ia tampan dan tak kalah sama aktor-aktor sinetron. Wajahnya mirip aktor Glenn Alinski, hanya saja ia memiliki tahi lalat di alis kirinya yang tebal.

"Cupp." Akhirnya tanpa kusadari bibirnya dengan cepat mendarat tepat di bibir merahku. Kecupan ini, kecupan pertama kali yang pernah kurasakan. Kecupan dengan hasrat yang sangat mendalam. Aku tak dapat menghentikannya. Bibirku seolah juga ingin merasakan dan tunduk luluh menikmatinya. Hingga David menghentikannya dan langsung mengucap kata "Maaf".

"David, apa tadi juga merupakan kado valentine untukku?" tanyaku gugup.

Ia tidak menjawab dan hanya memandangiku dengan pandangan yang tidak biasanya. Melebihi pandangan seorang kekasih. Suatu pandangan khusus dan sorot mata yang menggairahkan.

"Lun, kamu tunggu sebentar. Aku ingin buang air kecil dulu," kata David tiba-tiba setelah memandangiku sesaat.

Suara hening menyelimuti kamar hotel. Tak ada bunyi jangkrik bersahutan. Hotel ini begitu mewah. Lukisan-lukisan berukuran besar menghiasi dindingnya. Siapa saja pasti betah tinggal di sini.

"Ehem, kamu lagi ngapain Lun?"

"Eh, sudah pipis. Aku cuma lihat-lihat isi kamar hotel ini," sahutku pada David yang mengalihkan pandanganku.

Wow, baru kali ini aku melihatnya tidak menggunakan baju. Ia keluar kamar kecil hanya menggunakan celana jeans yang tadi ia pakai. Lekukan otot-otot yang begitu jantan, yang membuat terpesona seluruh kaum hawa, termasuk diriku.

"Lun, apakah kamu merasakan ada sesuatu yang kurang lengkap di malam valentine ini?" Tanya David padaku yang membuatku penasaran.

"Apa?"

"Aku ingin memelukmu dengan erat. Tapi apa kamu tidak keberatan?”

Sejenak aku terdiam dan berpikir. Dia memelukku tanpa mengenakan baju. Tapi David menyiapkan semuanya hanya untuk diriku. Jadi, kuberanikan saja untuk menjawab.

"Ya, kamu boleh memelukku," jawabku agak ragu.

"Luna, hanya kamu wanita yang kucintai," kata David sambil memelukku dengan erat. Hingga kurasakan keringat gairah tubuhnya mengalir di badanku. Tatapan matanya kembali menyorot kedua mataku. Sebuah tatapan pangeran pujaan hati yang mampu melemahkan sekujur tubuhku. Tatapan seorang pria yang kuidam-idamkan saat ini.

"David, apa yang kamu lakukan?” ucapku ketika David mulai meraba belakang punggungku yang terbuka.

"Kulitmu mulus, halus. Aku sangat suka menyentuh kulit seperti ini. Aku ingin merasakan kulitmu seutuhnya."

David kembali memelukku dan menarik retsleting kancing punggungku. Otomatis setengah dari badanku sudah terbuka. Memang, ini momentum yang kuimpikan sejak dulu. Tapi, ini bukan perkara yang sah. Sungguh tidak dapat kutahan apa yang David lakukan. Tak dapat kupikirkan lagi apa arti sebuah harga diri seorang wanita yang telah kumiliki.

Bulan sabit begitu indah di langit malam. Seolah tersenyum melihat semuanya. Desiran angin juga merasakan kenikmatan yang terjadi bersama butiran angin malam yang memberikan kesejukan di dalamnya.

Keringat David bercucuran menyatu bersama keringat dinginku. Baru kali ini aku merasakan dan juga dapat melihat tubuh seorang laki-laki seutuhnya yang aku cintai.

"Lun, apa kamu bahagia malam ini?" tanya David dengan suara sedikit terengah-engah.

Aku hanya menganggukkan kepala sambil tersenyum memandanginya. David beranjak dari kasur untuk memakai celananya yang dilepaskannya tadi. Aku juga memakai gaun merahku yang terlepas.

"Vid, kita pulang malam ini kan?"

"Terserah kamu mau sampai pagi atau pulang."

"Pulang aja deh, perasaanku nggak enak nih," pintaku.

"Yups," jawabnya singkat

David sudah siap menungguku setelah mencuci mukanya. Aku masih merapikan rambut yang barusan acak-acakan. Jam sudah menunjukkan pukul 11.46. Di dalam hotel telah berlalu. David sudah membuka pintu mobilnya dari parkiran. Aku hanya menunggu di pintu gerbang. Perlahan-lahan ia mengeluarkan mobil dari parkiran dengan jalan mundur hingga keluar pintu gerbang. Jalanan sepi, mobil tidak terlalu banyak yang melintas, ia memutar mobilnya di jalanan untuk menuju pulang.

"David!!" Teriakku lantang.

Sebuah truk pengangkut bahan berat melintas dengan kecepatan tinggi tanpa menyalakan lampu jarak jauh. David kelihatan sangat panik dan mencoba untuk keluar dari mobil. Tapi, semuanya sudah terlambat.

"Tiiiiiiit…..Tiiiiiit…..Tiiiiiit….. Bruakkkksk….!!!"

 Bersambung…

Sabtu, 07 Desember 2013

Menghargai Waktu


Tak terasa, sudah begitu banyak detik yang terbuang. Juga sudah begitu banyak menit yang tersia-siakan.

Pikirkanlah, bahwa sudah banyak waktu yang terbengkalai. Maksudnya, sering menggunakan dengan tidak semestinya. Misal, hang out, ngobrol, gosip, de el el. Dan dengan sangat sedikit menggunakan waktu untuk hal yang berguna seperti mencari ilmu pengetahuan.

Pepatah juga ada yang mengatakan bahwa waktu itu adalah ilmu. Atau seperti pepatah orang barat yang mengatakan “Time is money”. Mungkin ini juga termasuk hal yang berguna. Tapi, ini bukan termasuk kewajiban seorang santri. Lalu, waktu yang terbuang akan dijadikan apa? Sungguh, waktu adalah suatu hal yang sangat berharga. Jadi, apakah kamu pernah menghargai waktu? []