Cinta Luna Aprilia (bag.2-habis)
05.16
Orang-orang
ramai berdatangan. Terutama mobil patroli yang bertugas di jalan itu. Juga tak
ketinggalan mobil ambulans yang ditelpon seseorang di tempat itu.
Jalan semakin
ramai di depan hotel. Kulihat mobil David terdorong sejauh lima meter akibat
tabrakan truk tadi. Bagian depan mobilnya hancur, begitu juga bagian
sampingnya.
Malam menjadi
gaduh. Bulan sabit telah hilang di balik awan hitam seakan enggan melihat
kejadian semuanya.
Pikiranku
menjadi kacau, sedih, duka, hampa, sangat menderita.
Aku pusing dan
kehabisan kata-kata sampai kekuatanku menenggelamkanku dalam kesadaran. Gelap,
hampa dan tak kurasakan lagi apa-apa.
*****
Orang-orang
ramai berdatangan. Terutama mobil patroli yang bertugas di jalan itu. Juga tak
ketinggalan mobil ambulans yang ditelpon seseorang di tempat itu.
Jalan semakin
ramai di depan hotel. Kulihat mobil David terdorong sejauh lima meter akibat
tabrakan truk tadi. Bagian depan mobilnya hancur, begitu juga bagian
sampingnya.
Malam menjadi
gaduh. Bulan sabit telah hilang di balik awan hitam seakan enggan melihat
kejadian semuanya.
Pikiranku
menjadi kacau, sedih, duka, hampa, sangat menderita.
Aku pusing dan
kehabisan kata-kata sampai kekuatanku menenggelamkanku dalam kesadaran. Gelap,
hampa dan tak kurasakan lagi apa-apa.
*****
Aku mulai
sadarkan diri. Mulai ada cahaya yang masuk dalam pikiranku. Yang perlahan
mengangkat kembali ingatanku.
"Dimana
aku?" tanyaku heran melihat seisi ruangan yang asing dalam pandanganku.
"Lun, ini
mama. Kamu lagi di rumah sakit. Kamu tadi pingsan di tempat tabrakan depan
hotel Liberty. Tadi mama juga ditelpon polisi untuk menjemput kamu," sahut
mama yang dari tadi menemaniku.
"Hah? Tabrakan?
David bagaimana?! Mama, bagaimana keadaan teman Luna? Apa dia baik-baik saja
dan dimana dias ekarang? Dimana David? Dimana dia?" Kataku panik.
"Lun,
tenang Lun. Korban tabrakan di TKP yang bernama David itu sudah meninggal tiga
puluh menit lalu. Karena pendarahan di kepalanya terlalu banyak. Mungkin karena
pecahan kaca mobil yang menancap di kepalanya," sahut Mama meyakinkan.
"Apa!!!
Nggak mungkin!!!" ucapku dengan nada bergelombang menahan isakan tangis.
Perasaanku
hancur berkeping-keping. Aku telah merasakan sakitnya kehilangan. Di setiap
mata batinku melihat sosok seorang David yang tadi bersamaku, aku jadi berpikir
kenapa aku tidak mati saja bersamanya. Kenapa juga aku pulang malam dari hotel
tidak pagi saja? Aku terus menyesal di setiapdetik-detik waktu.
*****
Pagi berduka.
Aku menziarahi mekam David di pemakaman keluarga Madwinata. Kupandangi batu
nisan putih yang bertulisan
David Fauzi
Madwinata
Lahir:11-01 –
1984
Wafat: 14 – 02 –
2008
Di setiap
memandangi tanggal kematiannya, aku selalu merasa sesak teringat tragedi yang
kami lakukan berdua di malam itu. Kutaburi bunga-bunga di atas tanah coklat
yang menyelimuti jasadnya yang sangat kucintai. Kupeluk nisannya dengan erat
sambil mengisakkan tangis. Hingga aku pergi meninggalkan pemakaman keluarga
Madwinata. *****
Telah kutahan
sekian lama. Tak terasa sudah sebulan kematian David berlalu. Tapi, rasa duka
masih tersimpan erat di hatiku. Sedikit demi sedikit kulupakan aura wajah
David, semakin terus terbayang wajahnya menghantui. Tapi aku terus tetap
berusaha hingga wajahnya benar-benar sirna dari ingatan.
"Ma, aku
pergi…"
"Nggak
sarapan dulu? Nanti kelaparan di kampus," sahut mama.
"Nngak kok,
nanti Luna bisa makan di kantin kampus.”
Brumm…
Honda Jazz merah
yang selalu menemaniku melaju menuju kampus. Semua pernak-pernik yang
berhubungan dengan David di dalamnya sudah kulepas agar aku melupakannya.
Desiran kendaraan roda dua dan roda empat di jalanan tetap ramai. Cuaca langit
berkabut hitam, seperti mau turun hujan. Orang-orang terlihat asyik nongkrong
di warteg-warteg samping jalan, menerka-nerka selebat apa hujan akan turun.
Aku sudah sampai
di kampus. Mobilku telah memasuki gerbang dan menuju parkiran. Belum keluar
dari dalam mobil, kepalaku jadi sangat pusing dan perut jadi mual–mual. Kuacak-acak
boks mobil mencari barang yang bisa menampung muntah. “Houuueek…houueek..”
Muntah langsung
kutumpahkan ke kantung hitam yang kutemukan di boks.
Perasaanku
menjadi tidak enak. Kukabari Maya, Teman seruanganku di kampus untuk memintakan
izin. Aku tidak jadi turun dari mobil. Kupalingkan kembali mobilku dari
parkiran dan berpikir pulang saja. Tapi, sebalum itu aku mampir ke rumah sakit
untuk periksa.
Cuaca menjadi
cerah. Mendung seolah bersembunyi di balik matahari. Bunga-bunga di pinggiran
jalan masih terlihat segar diselimuti embun yang belum kering.
Rumah Sakit Umum
Palang Merah. Terpampang besar tulisannya di hadapanku. Aku masuk untuk
periksa. Sampai lima belas menit menghabiskan waktuku. Dokter kembali tanpa
membawa resep seperti biasanya aku berobat.
“Dok, aku
kenapa? Apa ini penyakit serius?”
“Tidak, kamu
tidak apa-apa. Tapi…” Dokter itu terdiam sesaat, lalu kembali meneruskan
kata-katanya. “Selamat, Anda akan menjadi seorang ibu, maksud saya Anda hamil.”
Sambung dokter yang kira-kira masih berumur tiga puluhan itu sambil menjabat
tanganku.
Aku terdiam
dengan tampang kaget dan mata berkaca-kaca. Tak dapat lagi kuucapkan kata-kata
selain terima kasih dan langsung pergi meninggalkan ruangan dokter. Tangisku
meledak di luar ruangan. Kupercepat langkahku untuk cepat keluar dari rumah
sakit dan langsung pulang.
Perasaanku
kembali sesak dan sakit. Di sepanjang jalan tidak henti-hentinya air mataku
mengalir meski telah kutahan. Bayangan seorang David kembali muncul dalam
pikiranku. Kajadian pada malam itu kembali menghantui. Malam yang sangat
kusesali. Malam yang tak ingin kutemui lagi. Pikiranku menjadi kacau dan
kembali mual-mual. Menyetir mobil pun tidak serius. Mobil kujalankan dengan
pelan agar tidak terjadi apa-apa sampai ke depan rumah.
“Ih non, non kenapa?
Apa non sakit?” Tanya Mbok Sarah yang tiba-tiba melihatku keluar dari mobil
ketika menyiram tanaman.
“Iya Mbok,
tolong anterin aku ke kamar!” jawabku pada Mbok Sarah yang langsung
mendatangiku.
Jam menunjukkan
pukul 09.20 pagi. Mbok Sarah membantuku ke kamar. Aku langsung berbaring saja.
Kupandangi seisi ruangan kamar, bayang-bayang David hadir di dalamnya merasuk
pikiranku. Seakan-akan menanyakan sebuah pertanyaan,kapan bayi kita lahir?
Pertanyaan yang seolah ingin membunuhku. Sebab jika bayi di dalam kandunganku
lahir, hancurlah semuanya. Keluarga, teman,kuliah, kampus dan lain-lain. Karena
jasad David belum menjadi suami sahku.
“Meowww.”
“Russy…, ayo
naik.” Pintaku pada Russy yang tiba-tiba berada di samping kasurku. Russy
langsung meloncat ke atas perutku. Lalu mengambil posisi yang pas untuk tidur.
“Kamu ingin
tidur denganku?”
Russy tak
menjawab lagi dengan kata-kata meow. Matanya sudah terpejam dengan dengkuran
khas kucing. Memang, kucing jenis persia ini memang suka tidur dibanding
bermain. Kupandangi mukanya yang imut dan lucu seraya berpikir, kalau aku
menjadi seekor kucing, pasti tidak akan pernah mempunyai masalah sedikit pun.
Terutama masalahku sekarang yang membebaniku. Kutarik selimut yang berada di
ujung kakiku untuk menutupi badanku. Kuelus-elus bulu Russy yang lembut dan
halus sampai kelembutannya membawaku kedalam tenangnya tidur.
“Lun, aku
datang. Aku ingin membawa bayi kita.”
“Ka, kamu
masih…”
“Ya, aku masih
ada. Aku ingin membawa bayi kita. Anak kita.”
“Nggak, nggak,
kamu bukan David. Kamu sudah…”
“Nggak Lun, aku
masih di sini menanti kelahiran bayiku. Bayi kita!”
Kenapa David di
sini? Kenapa ia masih hidup? Benarkah ia belum mati? David mendekatiku dengan
wajah yang pucat. Aku sangat ketakutan. Ia tetap mendekat dan menangkap
tanganku.
“Jangan ke sini,
pergi!!!” Keheningan pecah. Aku menjerit sekeras-kerasnya tanpa menyadari
semuanya.
“Non, non Luna
kenapa? Non Luna tidak apa-apa kan?”
“Mbok, dia, dia
datang lagi. Dia ingin…”
“Dia siapa? Non
tadi cuma mimpi. Mungkin non Luna mimpi buruk.” yakin Mbok Sarah.
Apa semua tadi
nyata atau mimpi? Aku melihatnya begitu nyata. Air mataku menetes. Aku begitu
sedih tentang semuanya. Mbok Sarah menenangkan di sampingku. Russy sudah keluar
kamar, mungkin karena mendengarku berteriak. Jam 12.45, itulah yang terlihat di
jam dindingku.
Matahari siang
begitu panas menjilat desiran debu di jalanan. Aku beranjak bangkit dari kasur
untuk pergi ke meja makan. Mbok Sarah sudah menyiapkan makan siang setelah
memberi sereal kucing pada si mungil Russy. Semua rahasia masih belum
terbongkar . Aku tidak ingin menceritakan semuanya dengan buru-buru. Sekalipun
pada mama dan papa.
*****
“Lun, kamu
sampai kapan ngurung diri di kamar?” ucap mama sedari menyadarkan ingatanku.
Aku sungguh tak
tahan mengingat semuanya. Kejadian yang menimpaku bulan lalu. Kisah cinta yang
mengukir penderitaan. Yang menyisakan sebuah amanah titipan Tuhan. Seorang bayi
yang bukan anak suamiku. Melainkan anak kekasih setiaku yang telah meninggalkan
dunia. Yang meniduriku tanpa ikatan pernikahan. Sekarang, mama dan papa sudah
mengetahui semuanya. Mulanya mereka marah, namun akhirnya dapat mengerti semua
masalahku.
Malam telah
menunjukkan pukul 11.20 malam. Aku tak ingin mengingat lagi apa yang sudah lewat.
Bayi yang terkandung di dalam perutku akan kurawat sampai besar. Itulah yang
diinginkan Mama asal tidak mengambil jalan aborsi. Aku sekarang hanya
memikirkan masa depan dan tak ingin memulai kisah seperti dahulu. Kisah cinta
yang berakhir penderitaan. Inilah yang kutakutkan saat dulu. Bisa terjadi apa
yang tak pernah mugkin bagiku terjadi ketika berpacaran . Mungkin sudah takdir
terlanjur padaku. Aku akan memulai hidup baru dengan pandangan tetap ke depan
tanpa memikirkan pacaran karena pacaran tidak selamanya berujung kebahagiaan.
Bagiku pendapat yang dulunya tak pernah kumengerti, sekarang telah kumengerti
bahwa kepuasan berpacaran adalah sesudah pernikahan. Dan tentang jodoh
kuserahkan kepada Tuhan.
Malam
berangsur-angsur hilang ditelan pagi. Kicauan burung sudah mulai muncul
bersahutan. Udara sejuk di pagi hari begitu nyaman untuk menarik nafas
dalam-dalam di bawah dedaunan segar.
Tirai jendela
kubuka. Sembari tersenyum melihat semuanya kutapaki hidup baru hari ini. Walau
dengan kebiasaan yang berbeda. Sebab, sekarang aku mengandung seorang bayi
berumur satu setengah bulan di perutku. Begitu juga David, ia tetap masih ada
di dalam hatiku. Aku sudah tenang dengan semuanya. Tentangnya, masih kusimpan
di dalam memori berpacaran yang terakhir untukku. Karena dia, aku sudah tak
ingin lagi berpacaran. Biar jodoh yang mencariku dan juga dapat menerimaku apa
adanya. Yang langsung membawaku ke jenjang pernikahan tanpa harus bertele-tele
dengan ketidak seriusan cinta. Kalau saja David belum meninggal, pasti dia
sudah mengikatku dengan tali pernikahan yang sah. Tapi sudahlah, mungkin itulah
jalan terbaik untuknya.
Jam sudah
menunjukkan pukul delapan tepat. Kubuka buku diary pemberian David dahulu
ketika pertama kali ia menembak hatiku dengan kata-kata manisnya.
“Lun, kamu mau
kan jadi pacar aku? Kalau kamu mau kamu boleh ambil diary ini. Kalau nggak,
kamu apakan terserah atau kamu buang aja. Ini nantinya kalau kamu jadi pacar
aku, ia akan jadi saksi cinta kita. Tulis saja pahit manis kisah cinta kita
sampai kita menikah nanti. Kalau kamu mau jadi istri aku,” katanya dengan
sedikit bercanda waktu di kampus dulu. Dengan nada-nada gombalnya yang
meyakinkan hingga aku dapat tertarik dengannya.
Diary berwarna
merah keemasan yang masih baru dan terbungkus plastik. Diary yang masih utuh
dengan kertas-kertas kosongnya. Awalnya, aku bingung untuk menulis apa tentang
David yang telah tiada. Tapi sekarang, diary itu telah kuisi dengan puisi yang
mencakup kisah semuanya. Tentang aku dan dia.
Itulah saat
terindah dalam hidupku
Saat kita di
bawah rembulan
Saat kita berdua
Saat kita
bersama…
Tak percaya
dengan apa yang kulihat
Tapi, Tuhan
berkehendak lain
Itu mungkin
pilihan-Nya…
Itu yang terbaik
untuk menjaganya…
Dalam hatiku ada
rasa tenang
Sebuah rasa yang
telah menenangkan hatiku
Dari kalimat
penderitaan…
Yang menutup
mimpi dengan kenyataan
Juga membawa
diriku sekarang
Membuka lembar
kebahagiaan …
Yang jalani
hidup baru
Tanpa harus
bersamanya…
Itulah yang
kutulis satu-satunya di dalam diary pemberian David yang kubungkus dengan rapi
dengan kertas kado warna putih bercampur kemerahmudaan. Kutulis namaku di atas
sampulnya. Luna Madwinata, itulah yang kutulis agar diary itu tetap menjadi
milikku dan milik David. Kupakai kata Madwinata karena aura David harus selalu
mendampingiku di dalamnya.
*****
Hari berganti
hari. Roda waktu selalu berputar sesuai porosnya. Waktu aktifku sudah berjalan
normal seperti biasanya. Hanya saja duniaku sedikit berbeda karena perutku
semakin membesar. Terpaksa kutahan kuliahku satu tahun agar dapat konsisten
terhadap bayi di dalam kandunganku ini.
Inilah kisahku,
kisah seorang perempuan yang memperjuangkan cintanya dengan seorang pria yang
sudah tiada di dunia ini. Pria yang telah merenggut hatiku, menampar jiwaku,
dan mengambil cintaku. Cinta Luna Aprilia….[]
0 komentar:
Posting Komentar