Rss

Jumat, 13 Desember 2013

Cinta Luna Aprilia (bag.2-habis)


Orang-orang ramai berdatangan. Terutama mobil patroli yang bertugas di jalan itu. Juga tak ketinggalan mobil ambulans yang ditelpon seseorang di tempat itu.

Jalan semakin ramai di depan hotel. Kulihat mobil David terdorong sejauh lima meter akibat tabrakan truk tadi. Bagian depan mobilnya hancur, begitu juga bagian sampingnya.

Malam menjadi gaduh. Bulan sabit telah hilang di balik awan hitam seakan enggan melihat kejadian semuanya.

Pikiranku menjadi kacau, sedih, duka, hampa, sangat menderita.

Aku pusing dan kehabisan kata-kata sampai kekuatanku menenggelamkanku dalam kesadaran. Gelap, hampa dan tak kurasakan lagi apa-apa.

*****

Orang-orang ramai berdatangan. Terutama mobil patroli yang bertugas di jalan itu. Juga tak ketinggalan mobil ambulans yang ditelpon seseorang di tempat itu.

Jalan semakin ramai di depan hotel. Kulihat mobil David terdorong sejauh lima meter akibat tabrakan truk tadi. Bagian depan mobilnya hancur, begitu juga bagian sampingnya.

Malam menjadi gaduh. Bulan sabit telah hilang di balik awan hitam seakan enggan melihat kejadian semuanya.

Pikiranku menjadi kacau, sedih, duka, hampa, sangat menderita.

Aku pusing dan kehabisan kata-kata sampai kekuatanku menenggelamkanku dalam kesadaran. Gelap, hampa dan tak kurasakan lagi apa-apa.

*****

Aku mulai sadarkan diri. Mulai ada cahaya yang masuk dalam pikiranku. Yang perlahan mengangkat kembali ingatanku.

"Dimana aku?" tanyaku heran melihat seisi ruangan yang asing dalam pandanganku.

"Lun, ini mama. Kamu lagi di rumah sakit. Kamu tadi pingsan di tempat tabrakan depan hotel Liberty. Tadi mama juga ditelpon polisi untuk menjemput kamu," sahut mama yang dari tadi menemaniku.

"Hah? Tabrakan? David bagaimana?! Mama, bagaimana keadaan teman Luna? Apa dia baik-baik saja dan dimana dias ekarang? Dimana David? Dimana dia?" Kataku panik.

"Lun, tenang Lun. Korban tabrakan di TKP yang bernama David itu sudah meninggal tiga puluh menit lalu. Karena pendarahan di kepalanya terlalu banyak. Mungkin karena pecahan kaca mobil yang menancap di kepalanya," sahut Mama meyakinkan.

"Apa!!! Nggak mungkin!!!" ucapku dengan nada bergelombang menahan isakan tangis.

Perasaanku hancur berkeping-keping. Aku telah merasakan sakitnya kehilangan. Di setiap mata batinku melihat sosok seorang David yang tadi bersamaku, aku jadi berpikir kenapa aku tidak mati saja bersamanya. Kenapa juga aku pulang malam dari hotel tidak pagi saja? Aku terus menyesal di setiapdetik-detik waktu.

*****

Pagi berduka. Aku menziarahi mekam David di pemakaman keluarga Madwinata. Kupandangi batu nisan putih yang bertulisan

David Fauzi Madwinata

Lahir:11-01 – 1984

Wafat: 14 – 02 – 2008

 Di setiap memandangi tanggal kematiannya, aku selalu merasa sesak teringat tragedi yang kami lakukan berdua di malam itu. Kutaburi bunga-bunga di atas tanah coklat yang menyelimuti jasadnya yang sangat kucintai. Kupeluk nisannya dengan erat sambil mengisakkan tangis. Hingga aku pergi meninggalkan pemakaman keluarga Madwinata. *****

Telah kutahan sekian lama. Tak terasa sudah sebulan kematian David berlalu. Tapi, rasa duka masih tersimpan erat di hatiku. Sedikit demi sedikit kulupakan aura wajah David, semakin terus terbayang wajahnya menghantui. Tapi aku terus tetap berusaha hingga wajahnya benar-benar sirna dari ingatan.

"Ma, aku pergi…"

"Nggak sarapan dulu? Nanti kelaparan di kampus," sahut mama.

"Nngak kok, nanti Luna bisa makan di kantin kampus.”

Brumm…

Honda Jazz merah yang selalu menemaniku melaju menuju kampus. Semua pernak-pernik yang berhubungan dengan David di dalamnya sudah kulepas agar aku melupakannya. Desiran kendaraan roda dua dan roda empat di jalanan tetap ramai. Cuaca langit berkabut hitam, seperti mau turun hujan. Orang-orang terlihat asyik nongkrong di warteg-warteg samping jalan, menerka-nerka selebat apa hujan akan turun.

Aku sudah sampai di kampus. Mobilku telah memasuki gerbang dan menuju parkiran. Belum keluar dari dalam mobil, kepalaku jadi sangat pusing dan perut jadi mual–mual. Kuacak-acak boks mobil mencari barang yang bisa menampung muntah. “Houuueek…houueek..”

Muntah langsung kutumpahkan ke kantung hitam yang kutemukan di boks.

Perasaanku menjadi tidak enak. Kukabari Maya, Teman seruanganku di kampus untuk memintakan izin. Aku tidak jadi turun dari mobil. Kupalingkan kembali mobilku dari parkiran dan berpikir pulang saja. Tapi, sebalum itu aku mampir ke rumah sakit untuk periksa.

Cuaca menjadi cerah. Mendung seolah bersembunyi di balik matahari. Bunga-bunga di pinggiran jalan masih terlihat segar diselimuti embun yang belum kering.

Rumah Sakit Umum Palang Merah. Terpampang besar tulisannya di hadapanku. Aku masuk untuk periksa. Sampai lima belas menit menghabiskan waktuku. Dokter kembali tanpa membawa resep seperti biasanya aku berobat.

“Dok, aku kenapa? Apa ini penyakit serius?”

“Tidak, kamu tidak apa-apa. Tapi…” Dokter itu terdiam sesaat, lalu kembali meneruskan kata-katanya. “Selamat, Anda akan menjadi seorang ibu, maksud saya Anda hamil.” Sambung dokter yang kira-kira masih berumur tiga puluhan itu sambil menjabat tanganku.

Aku terdiam dengan tampang kaget dan mata berkaca-kaca. Tak dapat lagi kuucapkan kata-kata selain terima kasih dan langsung pergi meninggalkan ruangan dokter. Tangisku meledak di luar ruangan. Kupercepat langkahku untuk cepat keluar dari rumah sakit dan langsung pulang.

Perasaanku kembali sesak dan sakit. Di sepanjang jalan tidak henti-hentinya air mataku mengalir meski telah kutahan. Bayangan seorang David kembali muncul dalam pikiranku. Kajadian pada malam itu kembali menghantui. Malam yang sangat kusesali. Malam yang tak ingin kutemui lagi. Pikiranku menjadi kacau dan kembali mual-mual. Menyetir mobil pun tidak serius. Mobil kujalankan dengan pelan agar tidak terjadi apa-apa sampai ke depan rumah.

“Ih non, non kenapa? Apa non sakit?” Tanya Mbok Sarah yang tiba-tiba melihatku keluar dari mobil ketika menyiram tanaman.

“Iya Mbok, tolong anterin aku ke kamar!” jawabku pada Mbok Sarah yang langsung mendatangiku.

Jam menunjukkan pukul 09.20 pagi. Mbok Sarah membantuku ke kamar. Aku langsung berbaring saja. Kupandangi seisi ruangan kamar, bayang-bayang David hadir di dalamnya merasuk pikiranku. Seakan-akan menanyakan sebuah pertanyaan,kapan bayi kita lahir? Pertanyaan yang seolah ingin membunuhku. Sebab jika bayi di dalam kandunganku lahir, hancurlah semuanya. Keluarga, teman,kuliah, kampus dan lain-lain. Karena jasad David belum menjadi suami sahku.

“Meowww.”

“Russy…, ayo naik.” Pintaku pada Russy yang tiba-tiba berada di samping kasurku. Russy langsung meloncat ke atas perutku. Lalu mengambil posisi yang pas untuk tidur.

“Kamu ingin tidur denganku?”

Russy tak menjawab lagi dengan kata-kata meow. Matanya sudah terpejam dengan dengkuran khas kucing. Memang, kucing jenis persia ini memang suka tidur dibanding bermain. Kupandangi mukanya yang imut dan lucu seraya berpikir, kalau aku menjadi seekor kucing, pasti tidak akan pernah mempunyai masalah sedikit pun. Terutama masalahku sekarang yang membebaniku. Kutarik selimut yang berada di ujung kakiku untuk menutupi badanku. Kuelus-elus bulu Russy yang lembut dan halus sampai kelembutannya membawaku kedalam tenangnya tidur.

“Lun, aku datang. Aku ingin membawa bayi kita.”

“Ka, kamu masih…”

“Ya, aku masih ada. Aku ingin membawa bayi kita. Anak kita.”

“Nggak, nggak, kamu bukan David. Kamu sudah…”

“Nggak Lun, aku masih di sini menanti kelahiran bayiku. Bayi kita!”

Kenapa David di sini? Kenapa ia masih hidup? Benarkah ia belum mati? David mendekatiku dengan wajah yang pucat. Aku sangat ketakutan. Ia tetap mendekat dan menangkap tanganku.

“Jangan ke sini, pergi!!!” Keheningan pecah. Aku menjerit sekeras-kerasnya tanpa menyadari semuanya.

“Non, non Luna kenapa? Non Luna tidak apa-apa kan?”

“Mbok, dia, dia datang lagi. Dia ingin…”

“Dia siapa? Non tadi cuma mimpi. Mungkin non Luna mimpi buruk.” yakin Mbok Sarah.

Apa semua tadi nyata atau mimpi? Aku melihatnya begitu nyata. Air mataku menetes. Aku begitu sedih tentang semuanya. Mbok Sarah menenangkan di sampingku. Russy sudah keluar kamar, mungkin karena mendengarku berteriak. Jam 12.45, itulah yang terlihat di jam dindingku.

Matahari siang begitu panas menjilat desiran debu di jalanan. Aku beranjak bangkit dari kasur untuk pergi ke meja makan. Mbok Sarah sudah menyiapkan makan siang setelah memberi sereal kucing pada si mungil Russy. Semua rahasia masih belum terbongkar . Aku tidak ingin menceritakan semuanya dengan buru-buru. Sekalipun pada mama dan papa.

*****

“Lun, kamu sampai kapan ngurung diri di kamar?” ucap mama sedari menyadarkan ingatanku.

Aku sungguh tak tahan mengingat semuanya. Kejadian yang menimpaku bulan lalu. Kisah cinta yang mengukir penderitaan. Yang menyisakan sebuah amanah titipan Tuhan. Seorang bayi yang bukan anak suamiku. Melainkan anak kekasih setiaku yang telah meninggalkan dunia. Yang meniduriku tanpa ikatan pernikahan. Sekarang, mama dan papa sudah mengetahui semuanya. Mulanya mereka marah, namun akhirnya dapat mengerti semua masalahku.

Malam telah menunjukkan pukul 11.20 malam. Aku tak ingin mengingat lagi apa yang sudah lewat. Bayi yang terkandung di dalam perutku akan kurawat sampai besar. Itulah yang diinginkan Mama asal tidak mengambil jalan aborsi. Aku sekarang hanya memikirkan masa depan dan tak ingin memulai kisah seperti dahulu. Kisah cinta yang berakhir penderitaan. Inilah yang kutakutkan saat dulu. Bisa terjadi apa yang tak pernah mugkin bagiku terjadi ketika berpacaran . Mungkin sudah takdir terlanjur padaku. Aku akan memulai hidup baru dengan pandangan tetap ke depan tanpa memikirkan pacaran karena pacaran tidak selamanya berujung kebahagiaan. Bagiku pendapat yang dulunya tak pernah kumengerti, sekarang telah kumengerti bahwa kepuasan berpacaran adalah sesudah pernikahan. Dan tentang jodoh kuserahkan kepada Tuhan.

Malam berangsur-angsur hilang ditelan pagi. Kicauan burung sudah mulai muncul bersahutan. Udara sejuk di pagi hari begitu nyaman untuk menarik nafas dalam-dalam di bawah dedaunan segar.

Tirai jendela kubuka. Sembari tersenyum melihat semuanya kutapaki hidup baru hari ini. Walau dengan kebiasaan yang berbeda. Sebab, sekarang aku mengandung seorang bayi berumur satu setengah bulan di perutku. Begitu juga David, ia tetap masih ada di dalam hatiku. Aku sudah tenang dengan semuanya. Tentangnya, masih kusimpan di dalam memori berpacaran yang terakhir untukku. Karena dia, aku sudah tak ingin lagi berpacaran. Biar jodoh yang mencariku dan juga dapat menerimaku apa adanya. Yang langsung membawaku ke jenjang pernikahan tanpa harus bertele-tele dengan ketidak seriusan cinta. Kalau saja David belum meninggal, pasti dia sudah mengikatku dengan tali pernikahan yang sah. Tapi sudahlah, mungkin itulah jalan terbaik untuknya.

Jam sudah menunjukkan pukul delapan tepat. Kubuka buku diary pemberian David dahulu ketika pertama kali ia menembak hatiku dengan kata-kata manisnya.

“Lun, kamu mau kan jadi pacar aku? Kalau kamu mau kamu boleh ambil diary ini. Kalau nggak, kamu apakan terserah atau kamu buang aja. Ini nantinya kalau kamu jadi pacar aku, ia akan jadi saksi cinta kita. Tulis saja pahit manis kisah cinta kita sampai kita menikah nanti. Kalau kamu mau jadi istri aku,” katanya dengan sedikit bercanda waktu di kampus dulu. Dengan nada-nada gombalnya yang meyakinkan hingga aku dapat tertarik dengannya.

Diary berwarna merah keemasan yang masih baru dan terbungkus plastik. Diary yang masih utuh dengan kertas-kertas kosongnya. Awalnya, aku bingung untuk menulis apa tentang David yang telah tiada. Tapi sekarang, diary itu telah kuisi dengan puisi yang mencakup kisah semuanya. Tentang aku dan dia.

 

 Itulah saat terindah dalam hidupku

Saat kita di bawah rembulan

Saat kita berdua

Saat kita bersama…

 

 Tak percaya dengan apa yang kulihat

Tapi, Tuhan berkehendak lain

Itu mungkin pilihan-Nya…

Itu yang terbaik untuk menjaganya…

 

Dalam hatiku ada rasa tenang

Sebuah rasa yang telah menenangkan hatiku

Dari kalimat penderitaan…

Yang menutup mimpi dengan kenyataan

 

Juga membawa diriku sekarang

Membuka lembar kebahagiaan …

Yang jalani hidup baru

Tanpa harus bersamanya…

 Itulah yang kutulis satu-satunya di dalam diary pemberian David yang kubungkus dengan rapi dengan kertas kado warna putih bercampur kemerahmudaan. Kutulis namaku di atas sampulnya. Luna Madwinata, itulah yang kutulis agar diary itu tetap menjadi milikku dan milik David. Kupakai kata Madwinata karena aura David harus selalu mendampingiku di dalamnya.

*****

Hari berganti hari. Roda waktu selalu berputar sesuai porosnya. Waktu aktifku sudah berjalan normal seperti biasanya. Hanya saja duniaku sedikit berbeda karena perutku semakin membesar. Terpaksa kutahan kuliahku satu tahun agar dapat konsisten terhadap bayi di dalam kandunganku ini.

Inilah kisahku, kisah seorang perempuan yang memperjuangkan cintanya dengan seorang pria yang sudah tiada di dunia ini. Pria yang telah merenggut hatiku, menampar jiwaku, dan mengambil cintaku. Cinta Luna Aprilia….[]


0 komentar:

Posting Komentar