Rss

Senin, 02 Februari 2015

M-S-A-A


          
           Matahari baru saja meninggi sebatas pohon kelapa. Aku tetap saja tertegun menatap bangunan-bangunan tinggi dan besar berwarna abu-abu yang tak pernah takut memakai campuran kontras berwarna hijau tua di bagian puncaknya. Seluruh detail bangunan-bangunan itu tertata rapi dan anggun. Hanya saja ornamen megah itu sudah mulai ternodai oleh beberapa tanda kusam dan kurangnya pembaharuan seluruh aplikasi yang melingkarinya. Tapi tenang saja, itu tak sedikitpun mengurangi kekokohan artistiknya. Lekukan urat bangunan itu masih manis jika diabadikan melalui lensa kamera dari sudut manapun. Udara sejuk di sekitarnya juga tidak kalah santun membelai lembut kulitku yang pertama kali ini menyentuh kota Malang. Segar. Ramah. Nyaman. Really amazing dah menurutku.
            “Tom, yang tinggi itu apa ya?” tanyaku penasaran tentang apa yang mematung tegap di hadapanku, termasuk bangunan menjulang tinggi yang tertanam  di antara gedung berornamen persegi. Nampaknya sebuah menara berbentuk segi sembilan dengan warna putih yang terletak di tengah-tengah jalan.
            “Gak tau, Mi. Mungkin menara masjid yang itu deh,” tunjuk Tomi, temanku satu-satunya dari Banjarmasin yang menemaniku berkeliling menyusuri UIN Maliki Malang yang luas ini, seraya melayangkan telunjuknya kearah sebuah masjid berwarna coklat dengan kubah bergaya Persia yang tak jauh dari menara yang kulihat.
            “Wah, untuk menara masjid sepetinya terlalu jauh Tom. Coba lihat di bagian bawahnya, ada pipa besar-besar. Mungkin penyimpanan gas kali. Eh, tapi untuk dijadikan bundaran kayaknya lebih cocok daripada menara masjid, Ndut!” aku membantah argumen si gendut Tomi yang agak ngawur.
            “Dasar Fahmi bodoh, coba lihat bagian atasnya ada lafadz bertuliskan Allah. Sudah pasti itu menara masjid,” bela Tomi tak mau kalah.
                        “Eh, Gendut aneh,” ucapku sedikit meledek. Sebelum aku meneruskan,  Tomi sudah memotong kata-kataku sambil memukul ringan kepalaku.
            “Apa kamu bilang?!” Tomi geram. Tertawa.
            “Hahaha, tidak kok. Lucu saja, masak semua yang ada lafadz Allahnya diklaim milik masjid. Eh, Ndut, di tempat aku saja banyak kok yang memakai lafadz Allah di depan kaca-kaca mobil. Kaca truk juga ada. Apa itu juga mau kamu bilang mobil wakaf, atau mobil sumbangan masjid, atau mobil jenazah saja sekalian! Hahaha, dasar Ndut.”
            Itu tidak berhenti sampai disitu saja. Kami tetap saling serang menemukan jawaban yang benar mengenai fungsi utama menara putih berlafadz Allah dipuncaknya itu. Tak ada yang dapat menemukan. Tak ada pula yang tidak membahas argumen satu sama lain. Dan itu mengasikkan, sambil menatap luas bakal calon Universitas kami kelak. Universitas yang menuntun masa depan kami kelak.
            Indah memang, masa tak dapat dihentikan. Waktu pun berputar membabibuta tanpa ampun. Siapa yang tertinggal, berarti menyia-nyiakan waktu. Berarti juga dia telah hidup berwajah zombie berwujud insan. Ah, apalah istilahnya?  Tapi yang pasti ceritaku barusan sudah berjalan satu tahun yang lalu. Sekarang, tentu saja aku sudah resmi menyandang predikat sebagai mahasiswa Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang. Yang dari dahulu telah aku, juga Tomi rencanakan untuk menimba ilmu disini.
                                                                     ***
            “Sholluuu…. Sholluuu…. Sholluuu! Ayo, seluruh mahasantri yang belum bangun agar secepatnya bangun. Adzan Subuh sudah dikumandangkan!”
            Kupingku terasa panas juga geram mendengar suara pengganggu yang volumenya ditingkatkan menggunakan pengeras suara. Sekali, dua kali, tiga kali aku tetap tidak terima dengan perlakuan seperti itu. Kok bisa mahasiswa dibangunkan dengan tidak wajar? Tapi  setelah proses itu berjalan diatas dua minggu, akhirnya aku bisa meerima bahwa suara penggangu, dentuman hanger di setiap pintu kamar, terompet gak jelas, hingga gempa buatan di tempat tidur adalah suatu hal yang positif. Jelas saja, Musyrif, atau sebut saja pembimbing disini menginginkan anak dampingannya melakukan sholat Subuh berjamaah. Nah, ini salah satu yang tak kutahu sebelumnya bahwa mahasiswa di UIN Maliki Malang diharuskan mengikuti ritual sholat subuh berjamaah, harus merasakan hidup selama satu tahun di lembaga seperti pondok pesantren yang berada di dalam tubuh universitas. Dan akupun tak sadar sebelumnya bahwa di UIN Maliki ada integrasi semacam ini. Perkawinan silang antara universitas dengan pondok pesantren.
            “Ayo, bangun. Hei, ini bukan di rumah. Berani masuk UIN berarti patuh  pada aturan yang ada.” Salah seorang musyrif membangunkanku yang masih belum sepenuhnya terisi nyawa.
            “Iya mas, sebentar lagi. Ngambil nafas dulu,” sahutku asal-asalan.
            “Benar ya? Kutunggu kamu di masjid, kalau tidak datang kamu akan kena iqab.” Jelas kang Zay selaku pembimbingku sambil mengepal tangan mengancam hukuman.
            Aku ditinggalkan dari tempat tidurku. Aku tau bakal kedatangan seseorang lagi, tapi bukan musyrif melainkan iblis jahannam. Aku bergegas bangun dari tempat tidurku sebelum tidurku bartambah parah. Kuatur jalanku yang masih tak karuan menuju kamar mandi. Kulihat beberapa orang berbaris antri dengan raut wajah yang susah dijelaskan. Seram. Aku juga masuk barisan itu.
            Setelah selesai istinja, berwudhu dan mempersipkan segala sesuatu yang dibutuhkan untuk kegiatan setelah subuh, aku lets go ke masjid untuk ikut jamaah disana. Sungguh, ini sangat berbeda dengan rutinitasku di rumah. So far different. Disini aku telah disulap menjadi seseorang yang rajin, walau kadang-kadang rajin itu dipaksa.
            Tahu tidak, masjid yang mau aku tuju ini adalah masjid yang pernah aku debatkan dahulu bersama Tomi satu tahun yang lalu, tentang menaranya. Ternyata, itu bukanlah menara masjid ataupun penyimpanan gas, melainkan sebuah sumur bor dengan kedalaman beribu-ribu meter di dalam perut bumi. Sebuah sumber air raksasa   yang terpancar diseluruh akar universitas yang luas ini. Rasa terima kasihku begitu besar sekarang untuk si tuan menara, sebab dialah yang menghidupi seluruh warga UIN dari jabatan paling tinggi sampai mahasiswa baru yang masih unyu-unyu dan tak tau apa-apa di sini. Ajaibnya universitas sebesar ini tidak memakai jasa PDAM, karena memang tak butuh, juga biar ngirit sekalian. Benar juga kata pepatah mahal diawal tapi murah kemudian. Salut dan takjub. Pengelolaan yang baik. Aku pun baru tahu bahwa alasan lain pentingnya air itu adalah, bahwa air termasuk salah satu elemen yang dimiliki oleh avatar. Lho?
            Seusai jamaah sholat subuh, membaca wirid-wirid, aku bergegas menuju kearah lokasi As-shobah al-lugah.  Tidak langsung pulang ke kamar, tapi mampir dahulu untuk memperdalam ilmu kebahasaan, arab dan inggris. Padahal itu waktu yang tepat untuk kembali ke kasur tercinta. Program ini diwajibkan, walau tidak wajib-wajib  amat, tapi berpengaruh buat nilai bahkan IP kuliah nanti. Ini juga masuk dalam daftar yang menyeramkan. Sesudah ini masih ada program taklim Al-Qur’an dan Kitab Al-Fiqh yang sangat mencuri waktu santaiku. Tak ada kata tenang dan santai lagi sekarang di bangku kuliah. Seluruhnya, semua waktu telah ditentukan dan  diperpadat oleh tugas dan belajar. Kadang, ada waktunya aku mengeluhkan ini semua. Kadang lagi, ada waktunya aku menganggap ini sebagai tantangan. Sebagai mahasiswa yang baik optimis sajalah, toh ending ditentukan diri masing-masing. Dan aku ingin endingku yang terbaik. Makanya aku berusaha.
            Jam sudah menunjukan pukul 07.15. Aku baru saja kembali dari pembelajaran kitab. Aku bergegas mandi, sebab pada jam delapan nanti aku harus masuk kuliah. Pyuhhh! Pagi-pagi sudah disibukkan dengan berbagai hal yang belum kupahami mamfaatnya. Tapi harus semangat.
            “Mi, kamukan ada presentasi hari ini. Sudah siap?”
            Hening.
            Bleetttaaarrrrttt!!! Bagai petir dibelah dua, aku kaget bukan main. Satu lontaran kalimat dari teman sekamarku begitu dahsyat. Begitu ampuh membuatku tersiksa seligus bingung tiada tara. Dan begitu… aarrggghhh, aku benar-benar lupa ada tugas! Ya Allah, jika kau sayang dengan hamba-Mu ini, izinkanlah untuk dosen kali ini… pergi entah kemana. Sebab, sebab akibatnya sangat fatal jika dosen tetap masuk kuliah! Amiiin.
            Aku tahu Allah memberikan jalan yang terbaik untuk hamba-Nya. Doaku barusan samasekali tak terkabul. Dosen killer  yang paling ditakuti, dengan anggunnya masuk kelas tanpa beban serta wajah kaku kerasnya sambil berkata “mana tugas yang diberikan minggu kemarin?” Perasaan cemasku mengembang tak karuan. Aku tidak bisa lagi berpikir bagaimana aku menerima hukuman dari sang dosen nanti. Yang jelas dipikiranku sekarang, bagaimana hari ini bisa berlalu dengan sangat cepat dan tak pernah aku ingat.
            Susah untuk melukiskan konflik yang terjadi barusan antara aku dan dosen killer. Yang jelas aku bisa pulang dengan tenang walau harus menenteng paksa oleh-oleh dari dosen killer berupa tugas individu membuat makalah, powerpoint, jurnal internasional dan harus kupresentasikan sendiri pada pertemuan yang tak kuinginkan minggu depan. Susahnya mahasiswa, menurutku.
            Kulihat handphone genggamku, karena memang tak punya jam tangan, sudah menunjukan pukul 14.03. ini adalah jam breaknya kuliah. Perjuanganku pun masih berlanjut pada stage berikutnya. Stage yang berjuang selain melawan materinya, juga melawan rasa kantuk dan lelah yang bersengatan. Mungkin ini termasuk musuh terberat yang harus kuhadapi. PPBA, Program Pendidikan Bahasa Arab adalah salah satu kuliah wajib yang harus diikuti seluruh mahasiswa. Jika pada tahun pertama tidak lulus PPBA, berarti dia akan mengulang di tahun ketiga atau pada semester kelima. Menyedihkan. Musuh besar ini juga menerapkan aturan yang bisa bikin mahasiswa gila, terutama orang tuanya yang mencarikan uang. Kenapa? Sebab, jika PPBA tidak lulus-lulus juga, mahasiswa tidak diperkenankan mengikuti skripsi perkuliahan. Dengan kata lain, mahasiswa harus mengulang-ngulang lagi sampai pihak universitas mengeluarakan surat ‘D.O’ alias ditendang dari UIN Maliki ini. Barakallahh. Gila!
                                                                     ***
            PPBA-ku berjalan mulus sampai jam delapan malam. Tak ada istirahat, kecuali sholat. Sebenarnya kegiatan ini sangat bagus menurutku. Aku yang sangat minim sekali berbicara bahasa arab dulunya, sekarang masih tetap minim sih. Tapi setidaknya aku sudah banyak mengerti beberapa ditambah beberapa dan akhirnya paham. Untuk hadir dan tak hadirkan pilihan, menurutku absensi itu penting. Asal masuk kelas, aman. Seterusnya terserah, mau mendengarkan dosen dengan khusuk sambil tidur, atau sambil buka laptop, sambil fesbukan, sambil download one piece, naruto, bleach, dan lain-lain. Terserah. Ah, sepertinya aku mulai mencintai program PBA ini jka ada selingannnya. Semangatku kembali tumbuh untuk belajar dan untuk yang lainnya.
            Si bundar yang biasa bikin kulit hitam sudah lama hilang dari peradaban. Tapi penggantinya, aku sama sekali belum melihat si sabit dari upuk mana pun. Semoga dia tidak apa-apa.  Tapi tanpa bulan pun, malam di UIN tetap terang dan penuh dengan cahaya.
            Sekarang aku sudah berada pada zona aman. Sesudah PPBA, tidak ada lagi kegiatan yang perlu diwaspadai. Tapi, melihat wajah teman-teman yang murung dan kelelahan membuatku sadar. Ternyata tak sendiri aku berjuang melawan musuh-musuhku berupa materi kehidupan. Kuliah, tugas, mental sampai pahitnya hidup didalam keteraturan juga mereka telan bulat-bulat. Ada tiga ribu mahasiswa di sini yang berjuang bersamaku. Seperjuanganku. Satu angkatan. Satu jiwa. Juga satu kehidupan. Aku harusnya semangat bukan malah ikut lembek. Aku harus kembali tersenyum di hadapan kusutnya wajah teman-teman. Dan aku harus bisa memberi pengaruh positif  yang bisa meningkatkan libido semangat untuk terus tersenyum melangkah di atas masalah-masalah yang ada dengan mengatakan :
            “Hei, kok kalian diam saja, masih ada waktu sampai jam sepuluh malam lho. Atau sekalian saja larut, kan kamar akan dibuka lagi pada jam sebelas. Musyrif juga gak bakalan tahu. Capek kalau dimanjakan akan tambah capek, mending kita perkosa rame-rame tuh capek biar gak berani datang lagi. Yuk, berangkat. Futsal telah menunggu!”
            Jika jawaban mereka adalah “Yuk, berangkat!”, berarti saat itu juga aku, atau siapapun, telah mengubah hari-hari yang di anggap beban menjadi teman kencan. Sempurna sepertinya. Hm, walaupun aku hanya bisa berkencan di malam hari, dan akan menemui musuh-musuhku lagi di hari besok, setidaknya poros ini berguna untuk games aku atau siapapun di hari berikutnya yang harus diselesaikan dengan predikat winner, bukan game over.
            “Habis futsal-an kemana nih? Matoz? Ngopi depan Sardo? Atau…?” semua mata mengumpul jadi satu. Memahami maksud satu sama lain. Setelah menemukan titik satu dengan titik yang lainnya, perlahan senyum meningkat dan mengembang. Lalu pecah menjadi situasi yang tak bisa ditukar olah apapun-siapapun. Dan meledak menjadi tawa yang beringas namun beretika.
            “HAHAHAHAHA!”
            “Fahmi, seterusnya bagaimana??!!” Itu suara Tomi, dia sedikit lebih kurus sekarang. Menurutku, itu juga salah satu yang disebabkan oleh perjuangan hidup disini. Semuanya begitu. Tidak hanya aku, kita tapi juga mereka yang ada di universitas ini.
            “Maunya bagaimana? Ya …  Lanjut….!”
            Disinilah libido-ku yang harus aku jadikan RPS, Rutinitas Pembangkit Semangat, menurutku. Seandainya aku tak menemuakan RPS-ku, mana tahan aku berjalan disini bersama kalian. Karena aku, kita, dan mereka disini satu nafas. Jadi, pasti satu kesamaan.
            Aku dan kalian semua pasti tahu, disini kita harus berjalan dengan kemandirian, dengan kegiatan yang seper padat, dengan waktu luang yang sempit, dengan tugas yang menggunung, dengan aturan yang susah dikendalikan, hingga jumlah uang yang sangat terbatas. Kita mampu, dan kita bertahan sekarang demi masa depan.
            Sepertinya, kita mulai dewasa disini ya teman-teman!
            “Mi, Fahmi, bangun. Anak-anak sudah pulang. Masak kamu ketiduran dikelas lagi? Berarti kamu gak memperhatikan materi PPBA hari ini ya? Hahaha, dasar tukang tidur. Ayo, sudah jam delapan lewat . RPS kita sudah menanti. Tinggal kamu, yang lain sudah menunggu di depan parkiran,” serang Tomi menimpukkan buku tulis di kepalaku, namun pelan.
            “Masak sih?”
            “Iya. Kamu gak mau ikut nih ceritanya?”
            “Sialan kamu bilang begitu, ndut. Kalau tidak ada aku sama saja kamu membuang kesempatan paling berharga di muka bumi ini. Haahaha.”
            “Alah, ngaco !”
            Kami berdua tertawa.
                                       *sekian*
          Minggu, 24/11/2013,06.52