Matahari
baru saja meninggi sebatas pohon kelapa. Aku tetap saja tertegun menatap
bangunan-bangunan tinggi dan besar berwarna abu-abu yang tak pernah takut
memakai campuran kontras berwarna hijau tua di bagian puncaknya. Seluruh detail
bangunan-bangunan itu tertata rapi dan anggun. Hanya saja ornamen megah itu
sudah mulai ternodai oleh beberapa tanda kusam dan kurangnya pembaharuan seluruh
aplikasi yang melingkarinya. Tapi tenang saja, itu tak sedikitpun mengurangi kekokohan
artistiknya. Lekukan urat bangunan itu masih manis jika diabadikan melalui
lensa kamera dari sudut manapun. Udara sejuk di sekitarnya juga tidak kalah
santun membelai lembut kulitku yang pertama kali ini menyentuh kota Malang.
Segar. Ramah. Nyaman. Really amazing dah menurutku.
“Tom, yang tinggi itu apa ya?” tanyaku
penasaran tentang apa yang mematung tegap di hadapanku, termasuk bangunan
menjulang tinggi yang tertanam di antara
gedung berornamen persegi. Nampaknya sebuah menara berbentuk segi sembilan
dengan warna putih yang terletak di tengah-tengah jalan.
“Gak tau, Mi. Mungkin menara masjid
yang itu deh,” tunjuk Tomi, temanku satu-satunya dari Banjarmasin yang
menemaniku berkeliling menyusuri UIN Maliki Malang yang luas ini, seraya
melayangkan telunjuknya kearah sebuah masjid berwarna coklat dengan kubah bergaya
Persia yang tak jauh dari menara yang kulihat.
“Wah, untuk menara masjid sepetinya
terlalu jauh Tom. Coba lihat di bagian bawahnya, ada pipa besar-besar. Mungkin
penyimpanan gas kali. Eh, tapi untuk dijadikan bundaran kayaknya lebih cocok
daripada menara masjid, Ndut!” aku membantah argumen si gendut Tomi yang agak ngawur.
“Dasar Fahmi bodoh, coba lihat
bagian atasnya ada lafadz bertuliskan Allah. Sudah pasti itu menara masjid,”
bela Tomi tak mau kalah.
“Eh,
Gendut aneh,” ucapku sedikit meledek. Sebelum aku meneruskan, Tomi sudah memotong kata-kataku sambil
memukul ringan kepalaku.
“Apa kamu bilang?!” Tomi geram.
Tertawa.
“Hahaha, tidak kok. Lucu saja, masak
semua yang ada lafadz Allahnya diklaim milik masjid. Eh, Ndut, di tempat aku
saja banyak kok yang memakai lafadz Allah di depan kaca-kaca mobil. Kaca truk
juga ada. Apa itu juga mau kamu bilang mobil wakaf, atau mobil sumbangan
masjid, atau mobil jenazah saja sekalian! Hahaha, dasar Ndut.”
Itu tidak berhenti sampai disitu
saja. Kami tetap saling serang menemukan jawaban yang benar mengenai fungsi
utama menara putih berlafadz Allah dipuncaknya itu. Tak ada yang dapat
menemukan. Tak ada pula yang tidak membahas argumen satu sama lain. Dan itu
mengasikkan, sambil menatap luas bakal calon Universitas kami kelak. Universitas
yang menuntun masa depan kami kelak.
Indah memang, masa tak dapat
dihentikan. Waktu pun berputar membabibuta tanpa ampun. Siapa yang tertinggal,
berarti menyia-nyiakan waktu. Berarti juga dia telah hidup berwajah zombie
berwujud insan. Ah, apalah istilahnya? Tapi
yang pasti ceritaku barusan sudah berjalan satu tahun yang lalu. Sekarang,
tentu saja aku sudah resmi menyandang predikat sebagai mahasiswa Universitas
Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang. Yang dari dahulu telah aku, juga
Tomi rencanakan untuk menimba ilmu disini.
***
“Sholluuu…. Sholluuu…. Sholluuu!
Ayo, seluruh mahasantri yang belum bangun agar secepatnya bangun. Adzan Subuh
sudah dikumandangkan!”
Kupingku terasa panas juga geram
mendengar suara pengganggu yang volumenya ditingkatkan menggunakan pengeras
suara. Sekali, dua kali, tiga kali aku tetap tidak terima dengan perlakuan
seperti itu. Kok bisa mahasiswa dibangunkan dengan tidak wajar? Tapi setelah proses itu berjalan diatas dua
minggu, akhirnya aku bisa meerima bahwa suara penggangu, dentuman hanger di
setiap pintu kamar, terompet gak jelas, hingga gempa buatan di tempat tidur
adalah suatu hal yang positif. Jelas saja, Musyrif,
atau sebut saja pembimbing disini menginginkan anak dampingannya melakukan
sholat Subuh berjamaah. Nah, ini salah satu yang tak kutahu sebelumnya bahwa mahasiswa
di UIN Maliki Malang diharuskan mengikuti ritual sholat subuh berjamaah, harus
merasakan hidup selama satu tahun di lembaga seperti pondok pesantren yang
berada di dalam tubuh universitas. Dan akupun tak sadar sebelumnya bahwa di UIN
Maliki ada integrasi semacam ini. Perkawinan silang antara universitas dengan
pondok pesantren.
“Ayo, bangun. Hei, ini bukan di
rumah. Berani masuk UIN berarti patuh pada aturan yang ada.” Salah seorang musyrif
membangunkanku yang masih belum sepenuhnya terisi nyawa.
“Iya mas, sebentar lagi. Ngambil
nafas dulu,” sahutku asal-asalan.
“Benar ya? Kutunggu kamu di masjid,
kalau tidak datang kamu akan kena iqab.”
Jelas kang Zay selaku pembimbingku sambil mengepal tangan mengancam hukuman.
Aku ditinggalkan dari tempat
tidurku. Aku tau bakal kedatangan seseorang lagi, tapi bukan musyrif melainkan
iblis jahannam. Aku bergegas bangun dari tempat tidurku sebelum tidurku
bartambah parah. Kuatur jalanku yang masih tak karuan menuju kamar mandi.
Kulihat beberapa orang berbaris antri dengan raut wajah yang susah dijelaskan.
Seram. Aku juga masuk barisan itu.
Setelah selesai istinja, berwudhu
dan mempersipkan segala sesuatu yang dibutuhkan untuk kegiatan setelah subuh,
aku lets go ke masjid untuk ikut
jamaah disana. Sungguh, ini sangat berbeda dengan rutinitasku di rumah. So far different. Disini aku telah
disulap menjadi seseorang yang rajin, walau kadang-kadang rajin itu dipaksa.
Tahu tidak, masjid yang mau aku tuju
ini adalah masjid yang pernah aku debatkan dahulu bersama Tomi satu tahun yang
lalu, tentang menaranya. Ternyata, itu bukanlah menara masjid ataupun penyimpanan
gas, melainkan sebuah sumur bor dengan kedalaman beribu-ribu meter di dalam
perut bumi. Sebuah sumber air raksasa
yang terpancar diseluruh akar universitas yang luas ini. Rasa terima
kasihku begitu besar sekarang untuk si tuan menara, sebab dialah yang menghidupi
seluruh warga UIN dari jabatan paling tinggi sampai mahasiswa baru yang masih unyu-unyu dan tak tau apa-apa di sini.
Ajaibnya universitas sebesar ini tidak memakai jasa PDAM, karena memang tak
butuh, juga biar ngirit sekalian.
Benar juga kata pepatah mahal diawal tapi
murah kemudian. Salut dan takjub. Pengelolaan yang baik. Aku pun baru tahu
bahwa alasan lain pentingnya air itu adalah, bahwa air termasuk salah satu
elemen yang dimiliki oleh avatar. Lho?
Seusai jamaah sholat subuh, membaca
wirid-wirid, aku bergegas menuju kearah lokasi As-shobah al-lugah. Tidak
langsung pulang ke kamar, tapi mampir dahulu untuk memperdalam ilmu kebahasaan,
arab dan inggris. Padahal itu waktu yang tepat untuk kembali ke kasur tercinta.
Program ini diwajibkan, walau tidak wajib-wajib amat, tapi berpengaruh buat
nilai bahkan IP kuliah nanti. Ini juga masuk dalam daftar yang menyeramkan.
Sesudah ini masih ada program taklim Al-Qur’an dan Kitab Al-Fiqh yang sangat
mencuri waktu santaiku. Tak ada kata tenang dan santai lagi sekarang di bangku
kuliah. Seluruhnya, semua waktu telah ditentukan dan diperpadat oleh tugas dan belajar. Kadang, ada
waktunya aku mengeluhkan ini semua. Kadang lagi, ada waktunya aku menganggap
ini sebagai tantangan. Sebagai mahasiswa yang baik optimis sajalah, toh ending
ditentukan diri masing-masing. Dan aku ingin endingku yang terbaik. Makanya aku
berusaha.
Jam sudah menunjukan pukul 07.15.
Aku baru saja kembali dari pembelajaran kitab. Aku bergegas mandi, sebab pada
jam delapan nanti aku harus masuk kuliah. Pyuhhh! Pagi-pagi sudah disibukkan
dengan berbagai hal yang belum kupahami mamfaatnya. Tapi harus semangat.
“Mi, kamukan ada presentasi hari
ini. Sudah siap?”
Hening.
Bleetttaaarrrrttt!!! Bagai petir
dibelah dua, aku kaget bukan main. Satu lontaran kalimat dari teman sekamarku
begitu dahsyat. Begitu ampuh membuatku tersiksa seligus bingung tiada tara. Dan
begitu… aarrggghhh, aku benar-benar lupa ada tugas! Ya Allah, jika kau sayang dengan hamba-Mu ini, izinkanlah untuk dosen
kali ini… pergi entah kemana. Sebab, sebab akibatnya sangat fatal jika dosen
tetap masuk kuliah! Amiiin.
Aku tahu Allah memberikan jalan yang
terbaik untuk hamba-Nya. Doaku barusan samasekali tak terkabul. Dosen killer yang paling ditakuti, dengan anggunnya masuk
kelas tanpa beban serta wajah kaku kerasnya sambil berkata “mana tugas yang
diberikan minggu kemarin?” Perasaan cemasku mengembang tak karuan. Aku tidak
bisa lagi berpikir bagaimana aku menerima hukuman dari sang dosen nanti. Yang
jelas dipikiranku sekarang, bagaimana hari ini bisa berlalu dengan sangat cepat
dan tak pernah aku ingat.
Susah untuk melukiskan konflik yang
terjadi barusan antara aku dan dosen killer.
Yang jelas aku bisa pulang dengan tenang walau harus menenteng paksa oleh-oleh
dari dosen killer berupa tugas individu
membuat makalah, powerpoint, jurnal
internasional dan harus kupresentasikan sendiri pada pertemuan yang tak
kuinginkan minggu depan. Susahnya mahasiswa, menurutku.
Kulihat handphone genggamku, karena
memang tak punya jam tangan, sudah menunjukan pukul 14.03. ini adalah jam breaknya kuliah. Perjuanganku pun masih
berlanjut pada stage berikutnya. Stage yang berjuang selain melawan materinya,
juga melawan rasa kantuk dan lelah yang bersengatan. Mungkin ini termasuk musuh
terberat yang harus kuhadapi. PPBA, Program Pendidikan Bahasa Arab adalah salah
satu kuliah wajib yang harus diikuti seluruh mahasiswa. Jika pada tahun pertama
tidak lulus PPBA, berarti dia akan mengulang di tahun ketiga atau pada semester
kelima. Menyedihkan. Musuh besar ini juga menerapkan aturan yang bisa bikin mahasiswa
gila, terutama orang tuanya yang mencarikan uang. Kenapa? Sebab, jika PPBA
tidak lulus-lulus juga, mahasiswa tidak diperkenankan mengikuti skripsi
perkuliahan. Dengan kata lain, mahasiswa harus mengulang-ngulang lagi sampai
pihak universitas mengeluarakan surat ‘D.O’ alias ditendang dari UIN Maliki
ini. Barakallahh. Gila!
***
PPBA-ku berjalan mulus sampai jam
delapan malam. Tak ada istirahat, kecuali sholat. Sebenarnya kegiatan ini
sangat bagus menurutku. Aku yang sangat minim sekali berbicara bahasa arab
dulunya, sekarang masih tetap minim sih. Tapi setidaknya aku sudah banyak
mengerti beberapa ditambah beberapa dan akhirnya paham. Untuk hadir dan tak
hadirkan pilihan, menurutku absensi itu penting. Asal masuk kelas, aman.
Seterusnya terserah, mau mendengarkan dosen dengan khusuk sambil tidur, atau
sambil buka laptop, sambil fesbukan, sambil download one piece, naruto,
bleach, dan lain-lain. Terserah. Ah, sepertinya aku mulai mencintai program PBA
ini jka ada selingannnya. Semangatku kembali tumbuh untuk belajar dan untuk
yang lainnya.
Si bundar yang biasa bikin kulit
hitam sudah lama hilang dari peradaban. Tapi penggantinya, aku sama sekali
belum melihat si sabit dari upuk mana pun. Semoga dia tidak apa-apa. Tapi tanpa bulan pun, malam di UIN tetap
terang dan penuh dengan cahaya.
Sekarang aku sudah berada pada zona
aman. Sesudah PPBA, tidak ada lagi kegiatan yang perlu diwaspadai. Tapi,
melihat wajah teman-teman yang murung dan kelelahan membuatku sadar. Ternyata
tak sendiri aku berjuang melawan musuh-musuhku berupa materi kehidupan. Kuliah,
tugas, mental sampai pahitnya hidup didalam keteraturan juga mereka telan
bulat-bulat. Ada tiga ribu mahasiswa di sini yang berjuang bersamaku.
Seperjuanganku. Satu angkatan. Satu jiwa. Juga satu kehidupan. Aku harusnya
semangat bukan malah ikut lembek. Aku
harus kembali tersenyum di hadapan kusutnya wajah teman-teman. Dan aku harus
bisa memberi pengaruh positif yang bisa
meningkatkan libido semangat untuk
terus tersenyum melangkah di atas masalah-masalah yang ada dengan mengatakan :
“Hei, kok kalian diam saja, masih
ada waktu sampai jam sepuluh malam lho. Atau sekalian saja larut, kan kamar
akan dibuka lagi pada jam sebelas. Musyrif juga gak bakalan tahu. Capek kalau
dimanjakan akan tambah capek, mending kita perkosa rame-rame tuh capek biar gak
berani datang lagi. Yuk, berangkat. Futsal telah menunggu!”
Jika jawaban mereka adalah “Yuk,
berangkat!”, berarti saat itu juga aku, atau siapapun, telah mengubah hari-hari
yang di anggap beban menjadi teman kencan. Sempurna sepertinya. Hm, walaupun
aku hanya bisa berkencan di malam hari, dan akan menemui musuh-musuhku lagi di
hari besok, setidaknya poros ini berguna untuk games aku atau siapapun di hari berikutnya yang harus diselesaikan
dengan predikat winner, bukan game over.
“Habis futsal-an kemana nih? Matoz?
Ngopi depan Sardo? Atau…?” semua mata mengumpul jadi satu. Memahami maksud satu
sama lain. Setelah menemukan titik satu dengan titik yang lainnya, perlahan
senyum meningkat dan mengembang. Lalu pecah menjadi situasi yang tak bisa
ditukar olah apapun-siapapun. Dan meledak menjadi tawa yang beringas namun
beretika.
“HAHAHAHAHA!”
“Fahmi, seterusnya bagaimana??!!”
Itu suara Tomi, dia sedikit lebih kurus sekarang. Menurutku, itu juga salah
satu yang disebabkan oleh perjuangan hidup disini. Semuanya begitu. Tidak hanya
aku, kita tapi juga mereka yang ada di universitas ini.
“Maunya bagaimana? Ya … Lanjut….!”
Disinilah libido-ku yang harus aku
jadikan RPS, Rutinitas Pembangkit Semangat, menurutku. Seandainya aku tak
menemuakan RPS-ku, mana tahan aku berjalan disini bersama kalian. Karena aku,
kita, dan mereka disini satu nafas. Jadi, pasti satu kesamaan.
Aku dan kalian semua pasti tahu,
disini kita harus berjalan dengan kemandirian, dengan kegiatan yang seper
padat, dengan waktu luang yang sempit, dengan tugas yang menggunung, dengan
aturan yang susah dikendalikan, hingga jumlah uang yang sangat terbatas. Kita
mampu, dan kita bertahan sekarang demi masa depan.
Sepertinya,
kita mulai dewasa disini ya teman-teman!
“Mi, Fahmi, bangun. Anak-anak sudah
pulang. Masak kamu ketiduran dikelas lagi? Berarti kamu gak memperhatikan materi PPBA hari ini ya? Hahaha, dasar tukang
tidur. Ayo, sudah jam delapan lewat . RPS kita sudah menanti. Tinggal kamu,
yang lain sudah menunggu di depan parkiran,” serang Tomi menimpukkan buku tulis
di kepalaku, namun pelan.
“Masak sih?”
“Iya. Kamu gak mau ikut nih ceritanya?”
“Sialan kamu bilang begitu, ndut.
Kalau tidak ada aku sama saja kamu membuang kesempatan paling berharga di muka
bumi ini. Haahaha.”
“Alah, ngaco !”
Kami berdua tertawa.
*sekian*
Minggu, 24/11/2013,06.52