HP Lipat
05.52
Aku masih termangu duduk di atas
sebuah kursi menanti pelanggan yang datang. Setelah menikah dan mempunyai
seorang putra, aku belum juga mendapat pekerjaan yang mapan. Terpaksa aku
membuka usaha ponsel kecil-kecilan di depan rumahku. Alhamdulillah,
penghasilanku sekarang cukup untuk menghidupi kebutuhan rumah tangga, termasuk
membiayai sekolah anakku yang kini di pondok pesantren.
Sudah dua tahun anakku menimba ilmu di sana. Aku berharap kelak dia menjadi
anak yang saleh dan berbakti kepada orangtua. Tidak seperti aku dulu yang tak
pernah serius mendalami ilmu agama ketika berada di pesantren.
“Mas, pulsa isi sepuluh ya…,” kata seorang pelanggan membuyarkan lamunanku.
“Oh iya Mbak, nomornya berapa?”
Pelanggan wanita itu mengeluarkan handphonenya dan menyebutkan nomornya
satu-persatu. Kemudian kukirim pulsa sebesar sepuluh ribu ke nomornya tadi.
“Sudah masuk Mbak?”
“Sudah, ini uangnya Mas.”
“Iya, Eh…” Otakku refleks mengingat masa lalu ketika menyadari HP yang
bertengger di tangan wanita itu, HP Lipat! Masa ketika dulu aku mondok di
pesantren yang kini anakku juga mondok di sana.
***
Ketika gelap menyeruak dalam ketenangan, ribuan bintang berkelip membaur mesra
di langit Pondok Pesantren AN NAJAH Banjarbaru. Jilatan angin malam menghambur
memasuki celah asrama santri-santri yang terlelap di dalamnya, dalam kesunyian.
Siraman rembulan juga tak pernah luntur menyinari kota santri saat itu.
Aku terbaring di atas kasur menanti alam mimpi memanggilku, tapi mata ini tak
juga mampu ditidurkan. Belum mengantuk. Kusapu pandangan ke sekeliling ruangan,
melacak sesuatu yang mungkin dapat menghiburku pada kepenatan di tengah malam
ini.
Kulihat beberapa temanku masih asik ngobrol, entah apa yang mereka
bicarakan. Sisanya barangkali sudah terlelap dalam dunia kasur yang meskipun
tak begitu empuk, namun sangat membius.
Mataku berhenti menyisiri ruangan, dan tanganku merogoh sesuatu yang dapat
dijadikan bahan otak-atik malam ini: sebuah HP lipat. Ya, barang terlarang yang
berada di saku celanaku itu memang pilihan tepat guna mengisi kekosongan. Ah,
tapi siapa yang bisa diajak berkirim SMS pada tengah malam seperti ini? Sangat
membosankan!
Tidak ada pilihan lain, kecuali membuka aplikasi permainan yang tertanam di
ponselku itu. Tapi, huh sial, ternyata kosong. Aku lupa telah menghapusnya
kemarin lantaran memorinya tak cukup lagi. Apa aku harus mendownloadnya
lagi? Ya, benar. Kucari permainan di sebuah situs yang menawarkan aplikasi
gratis. Saking asiknya mencari, aku tak sadar suara obrolan teman-temanku sudah
hilang, sepi. Hanya nyanyian dari kipas angin murahan yang kini mengisi
telingaku. Kulihat jam dinding, sudah pukul 23.30, memang waktunya tidur. Aku
pun kembali hanyut dengan HP lipat-ku.
Dari daftar permainan yang kubuka, DRAGON ISLAND CLASSIC III tampaknya paling
menarik dan lantas kuklik “download”. Menunggu loading yang lumayan
lama, kupejamkan mata sejenak.
Tiba-tiba, sebuah tangan seperti kilat melesat cepat menyambar HP di tanganku.
Aku terperanjat. Astagfirullah, ternyata Ustadz!!! Rupanya tadi pintu
asrama belum sempat dikunci.
Membawa handphone adalah pelanggaran kelas A, kelas tertinggi, setingkat dengan
mencuri, berkelahi dan pacaran. Itu karena begitu “merusak”nya barang tersebut.
Dengan benda kecil itu, santri dengan mudahnya bisa pacaran atau bahkan
menonton video porno. Tapi sebenarnya bukan untuk itu aku membawanya, tujuanku
tak lain yaitu agar mudah berhubungan dengan orangtuaku yang nun jauh di
Samarinda sana, kota kelahiranku.
“HP siapa ini?” Ustadz bertanya begitu santainya, sementara aku merasa seperti
mau disidang puluhan tahun, luar biasa gugup.
Dengan gemetar, kuberanikan menjawab, “Pu… punya saya, Ustadz…”
“Karena kamu ketahuan membawanya, mau tidak mau HP ini saya sita. Sebenarnya
saya hanya ingin melihat-lihat kondisi asrama, eh tidak tahunya mendapati kamu
dengan HP ini,” kata beliau dengan seulas senyum, senyum yang seperti tamparan
keras di hatiku.
Ustadz Jamaluddin, demikian nama beliau. Beliau adalah ketua bagian keasramaan.
Bukan tugas beliau padahal menyita barang-barang terlarang seperti ini,
melainkan tugas bagian keamanan. Tapi apa boleh buat, karena semua ustadz
memang berhak bahkan wajib menyita barang-barang terlarang yang dibawa santri,
asalkan barang tersebut kemudian diserahkan pada bagian keamanan beserta data
pemiliknya.
“Ustadz, apa saya boleh mengambil kartunya? Kartu itu sangat penting.”
“Tidak bisa,” kalimat beliau yang terdengar sinis itu sudah tak bisa ditawar
lagi.
“Boleh ya Ustadz…” pintaku lagi dengan penuh pengharapan.
“Tidak bisa!!! Sekarang cepat ambil kertas dan pulpen!” suara beliau kini
mengencang.
Tidak salah lagi kalau Ustadz memintaku seperti itu, pasti beliau akan mencatat
biodataku untuk diserahkan pada pihak keamanan. Lebih parah lagi kalau bagian
keamanan kemudian memanggil orangtuaku ke kantor guna mempertanggungjawabkan
kesalahanku. Aku harus bagaimana? Ya Allah, bantulah aku! Semoga masalah ini
tak akan menjadi masalah besar.
“Tulis nama dan kelasmu di sana!” pinta beliau sebelum kertas dan pulpen itu
kuserahkan.
Tanpa pikir panjang, kutulis namaku seadanya: Rizaldy A, kemudian kertas itu
kuserahkan. Itu bukan nama lengkapku, sebenarnya nama lengkapku Muhammad
Rizaldy Arifin.
“A ini apa? Alien?!”
“Bu… bukan Ustadz, itu singkatan dari Arifin.”
Ustadz Jamal memang kadang suka bercanda, namun di balik canda beliau itu, ada
keseriusan yang dalam. Setelah lama menatap kertas itu, beliau kemudian
mengajukan pertanyaan lagi.
“Kamu kelas berapa?”
“Satu aliyah A, Ustadz.”
“Kamu tinggal di mana?”
“Samarinda.”
“Cukup jauh. Orangtuamu tahu kalau kamu membawa HP ke sini?”
“Mungkin, soalnya HP ini saya ambil dari kakak saya yang tinggal di
Banjarmasin.”
“Banjarmasin? Ia kerja apa?”
“Guru SMP.”
“Siapa namanya?”
Aduh, banyak sekali pertanyaannya, seperti sidang korupsi uang negara saja.
Tapi apa boleh buat, aku harus memjawab semua pertanyaan dari seorang Ustadz.
“Ridwan.”
Huh, memangnya penting menanyakan sampai sejauh itu?
Ustadz Jamal terdiam sesaat, seperti sedang memikirkan sesuatu.
“Hm, apa dia seorang guru tilawah?”
Apa?! Kok bisa tahu? Apa beliau kenal dengan Kak Ridwan? Jika dipikir-pikir,
sepertinya memang iya, karena Ustadz jamal juga guru tilawah di sini. Aku
mengangguk.
“Sudah lama kamu membawa HP ini?” tanya beliau lagi.
“Sudah dua bulan, Ustadz…”
Ingin kukatakan bahwa baru satu minggu aku membawanya, supaya kedengarannya
tidak terlalu buruk, tapi aku tak berani berbohong, apalagi pada seorang
Ustadz. Benar-benar tak berani. Lagipula, berapa lama pun aku membawa HP lipat
itu tetap tak ada gunanya, nasibnya tetap sama.
Sebenarnya yang kupikirkan bukan soal HP-nya, tapi bagaimana nanti malunya bila
orangtuaku dipanggil ke kantor. Selain itu, kartu SIM yang telah berisi
beberapa nomor penting juga tak dapat kuambil lagi.
“Ustadz, kartunya bagaimana? Di sana banyak nomor penting…”
Ustadz Jamal hanya menggeleng pelan, cukup sebagai jawaban terakhir. “Kartu ini
akan saya jadikan bukti di hadapan pihak keamanan nantinya. Siapa tahu ada SMS
dari gadis kamu atau…”
“Saya tidak pacaran, Ustadz,” potongku segera.
“Kan siapa tahu? Ya sudah, saya mau ke asrama lain lagi. Besok kamu ke kantor
menghadap bagian keamanan,” ucap beliau sambil berlalu meninggalkan asrama.
“Assalamu’alaikum,” ucap beliau ketika sudah berada di pintu asrama.
“Wa’alaikumussalam…,” serentak teman-temanku yang rupanya terbangun dan
menyaksikan tragedi penyitaan itu menjawab salam dari Ustadz Jamal.
Setelah sosok Ustadz Jamal hilang dari pintu, kulihat senyuman agak menghina di
mulut kawan-kawanku dan lantas berubah menjadi cekikikan.
“Hahaha…,” gelak tawa bergemuruh dalam asrama.
“Rasakan! Kamu nggak bakalan bisa tidur malam ini, sama sepertiku waktu pertama
ketahuan melanggar qanun,” sembur Rahman, teman di samping ranjangku.
“Ah, sudahlah. Jangan dibahas lagi! Ayo tidur!”
Aku kemudian menarik selimut dan mengurung tubuhku di dalamnya. Pikiranku tak
karuan. Malam seperti ikut menertawakanku. Huh, sialan.
Mataku benar-benar tak dapat dipejamkan. Malam yang sungguh panjang. Masalah
ini terus-menerus memenuhi benakku. Besok aku harus ke kantor, tak dapat
kubayangkan bagaimana tegangnya besok nanti. Kemana menyimpan wajah malu ini di
tengah sorotan para Ustadz? Sama saja dengan menari telanjang di hadapan ribuan
orang!
Pandanganku semakin merantau jauh, melintasi dimensi ketegangan malam yang
larut hingga dibuai ketenangan. Ya Allah, bawalah aku ke dalam mimpi indah
walau untuk sejenak.
Getaran hangat menyelinap ke dalam lubang telinga. Setetes embun perlahan
mengintip malu bola mataku. Aku seperti mendengar seruan Ilahi dalam pembatas
mimpi. Alunan lembut yang memaksaku membuka perlahan helai demi helai bulu
mata. Subuh telah menjemputku.
Setelah menunaikan tidur malam yang sangat singkat, aku beranjak mengerjakan shalat
subuh. Di setiap gerak sujudku, kusisipkan segumpal doa yang mendalam agar
masalahku tak akan menjadi masalah besar. Terang saja, ini baru pertama kalinya
aku disuruh ke kantor karena suatu pelanggaran, sehingga bayangan sidang di
kantor nanti terus menghantui dan selalu terlintas di otakku. Aku sungguh tak
bisa tenang saat ini.
Saat jam telah menunjukkan pukul 8.30, aku sudah berada tepat di hadapan
seluruh bagian keamanan, termasuk ketua bagian keamanan, Ustadz Umar. Sejak
memasuki kantor, tak pernah sama sekali kuangkat wajahku yang terus-menerus
menunduk. Aku benar-benar tegang berada di sini.
“Rizaldy, kamukah yang melanggar qanun dengan membawa HP ini?” tanya
Ustadz Umar langsung sambil memperlihatkan HP lipat itu.
Kujawab dengan anggukan. Aku belum berani mengeluarkan sepatah kata pun.
“Kalau begitu, apakah kamu ingin HP-mu ini dikembalikan?” tanya beliau lagi
dengan tegas.
“Tentu Ustadz,” kuberanikan menjawab walau pelan.
“Tapi dengan satu syarat, orangtuamu harus hadir ke sini untuk mengambilnya dan
harus melakukan perjanjian dengan pihak pondok, bahwa kamu tidak akan melanggar
qanun lagi, dan bila ternyata kamu ketahuan melanggar qanun lagi
maka kamu akan diberhentikan dari AN NAJAH. Sepakat?”
Ancaman itu sungguh mengerikan: bila melanggar qanun lagi akan
diberhentikan! Namun aku benar-benar tak tahu lagi harus berbuat apa kecuali
menjawab “Iya”. Yang terpikir olehku hanyalah bagaimana caranya agar masalah
ini cepat berakhir.
Dari luar jendela, angin bertiup pelan ke arahku, seperti kasihan padaku.
Demikian pula dengan dedaunan akasia di luar jendela sana yang
bergoyang-goyang. Aku dapat merasakan semuanya.
“Mas, Mas, uang kembaliannya?” Sebuah suara mengagetkanku.
“Oh, iya Mbak, maaf…,” sahutku gelagapan.
Lamunan masa laluku buyar. Aku hanya tersenyum kecil. Kuserahkan uang
kembaliannya sebesar empat ribu rupiah.
“Terimakasih, dijual…,” ucapku dengan seulas senyum.
Wanita itu kemudian berlalu meninggalkan kios ponselku. Aku kembali tersenyum
mengingat masa laluku.
Ah, di mana ya HP lipat itu? Seingatku HP itu masih kusimpan di sini. Walau
tidak terpakai lagi, tapi benda itu menyimpan banyak kenangan, kenangan kelam.
Segera kucari HP itu.
Bipp… Bipp… Bipp…
Handphone di saku celanaku berbunyi, padahal HP lipat itu belum juga kutemukan.
Aku benar-benar sudah lupa menaruhnya di mana. Segera kurogoh kantung celanaku.
“Halo?” kubuka percakapan.
“Assalamu’alaikum,” sahut seseorang di seberang sana.
“Iya, wa’alaikumussalam. Ini siapa?”
“Saya Ustadz Zulkifli dari Pondok Pesantren An Najah. Ini benar orangtuanya
Naufal Arifin?”
“Benar, ada apa ya Ustadz?”
“Begini, kami meminta Anda datang ke pondok karena anak Anda telah ketahuan
melanggar peraturan.”
Aku terdiam sejenak. Setahuku anakku Naufal tak mungkin berani melanggar
peraturan.
“Oh maaf, peraturan apa ya Ustadz?”
“Anak Anda kami dapati telah berani membawa HP ke pondok. Jadi kami meminta
Anda datang ke sini untuk menandatangani perjanjian…”
Apa? Membawa HP? Jangan-jangan, HP itu, ya, HP lipat itu… Ah, Naufal, kenapa
kau mengulang kisah kelamku?[ ]
24-02-2011
____________________________________________________
2 komentar:
wow..amazing bagus banget..
Slots Casino Online - MapYRO
Casino 강릉 출장샵 Online. Slots. Casino Games. Games. More. More. More. More. More. More. More. More. More. More. More. More. More. 강원도 출장샵 More. More. More. 김해 출장안마 More. More. 목포 출장안마 More. More. More. More. More. More. More. More. More. More. More. More. More. More. More. More. More. More. More. More. More. More. More. More. More. 정읍 출장샵 More. More. More. More. More. More. More. More. More. More. More. More. More. More.
Posting Komentar